PENDIDIKAN
KARAKTER BAGI SISWA
Oleh:
Sumiatinor
I.
Hakikat
Pendidikan Karakter
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, karakter
adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai
kepribadian (Kamisa, 2005: 281). Lebih rinci Rutland melalui Furqun
Hidayatullah (2010: 12) memaparkan tentang karakter berasal dari akar kata bahasa Latin yang
berarti “dipahat”. Sebuah kehidupan, seperti sebuah blok granat yang dengan
hati-hati dipahat atau pun dipukul secara sembarangan yang pada akhirnya akan
menjadi sebuah mahakarya atau puing-puing yang rusak. Furqun Hidayatullah
(2010: 13) karakter adalah kualitas kekuatan mental atau moral, akhlak atau
budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang mendorong dan
penggerak, serta yang membedakan dengan individu lain. Kata pendidikan (education)
secara etimologis berasal dari bahasa latin yakni educere yang berarti melatih atau menjinakkan, menyuburkan. Jadi pendidikan
merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan dan
mendewasakan.
Otten, E.H. (2000: 4) menyebutkan bahwa
“Character education is an umbrella term
used to describe many aspect of teaching and learningfor personal develo
pment”. Pendidikan karakter merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran untuk pengembangan
kepribadian. Sedangkan menurut Lickona (Elkind & Sweet, 2004: 6)
mendefinisikan karakter sebagai “character
education is the deliberate effort to help people understand, care about, and
act upon ethical values”. Pendidikan karakter adalah usaha yang dilakukan
untuk membantu masyarakat memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai
etika.
Santrock (2008: 105) memberikan definisi
tentang pendidikan karakter bahwa
“Character education is a direction is a
approach to moral education that involves teaching students basic moral
literacy to prevent them from engaging in immoral behavior and doing harm to
themselves or other.”
Pendidikan karakter adalah pendekatan
langsung pada pendidikan moral, yakni mengajari murid dengan pengetahuan moral
dasar untuk mencegah mereka melakukan tindakan tak bermoral dan membahayakan
orang lain dan dirinya sendiri. Karakter kadang terlihat ambigu. Seperti yang
dikemukakan oleh Mounier melalui Doni Koesoma (2007: 90) yang melihat karakter
sebagai dua hal berbeda. Pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah
diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan
dalam diri kita. Karakter yang demikian ini dianggap sebagai sesuatu yang telah ada sejak lahir (given).
Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui sejauh mana
seseorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini
disebut sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed). Istilah karakter sesungguhnya menimbulkan ambiguitas.
Istilah karakter sesungguhnya menimbulkan ambiguitas. Karakter secara
etimologis berasal dari bahasa yunani “karasso”,
yang berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, ‘sidik’, seperti dalam sidik jari
(Doni Koesomah, 2007: 90).
Awilson melalui Tadkiratun Musfirah
(2008: 27) mendefinisikan karakter sebagai gambaran tingkah laku yang
menonjolkan nilai benar salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun secara
implisit. Pendidikan karakter merupakan gerakan nasional untuk menciptakan
sekolah yang membina generasi muda yang beretika, bertanggung jawab, dan peduli
melalui pemodelan dan mengajarkan karakter baik dengan penekanan pada nilai
universal yang disepakati bersama. Lickona (1991: 50) menyadur pendapat
Aristoteles tentang definisi dari karakter yang baik (good character) sebagai menjalani kehidupan dengan kebenaran.
Kenbenaran itu berhubungan dengan orang lain dan juga diri sendiri
Dari uraian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah proses menumbuhkan,
mengembangkan dan mendewasakan kepribadian seseorang.
II.
Komponen-komponen
pendidikan karakter
Lickona (1991: 53) menyatakan bahwa
komponen karakter terdiri dari moral
knowing, moral feeling, dan moral action. Lickona (1991: 53-62) menjelaskan
komponen dari setiap karakter sebagai berikut.
1. Moral knowing
(pengetahuan tentang moral)
Komponen karakter yang pertama ini
terbagi menjadi beberapa unsur yaitu: (a) moral
awarness (kesadaran moral, yaitu menggunakan kecerdasan untuk menilai
situasi agar sesuai dengan nilai-nilai moral. (b) knowing moral value (mengetahui nilai moral), nilai-nilai moral
antara lain: menghormati, tanggung jawab hidup, kejujuran, toleransi, dan kebebasan
adalah sekian cara untuk menjadi orang baik. Mengetahui nilai moral dapat pula
diartikan memahami bagaiamana menerapkan nilai moral dalam berbagai situasi.
(c) perspektive taking (mengambil
sudut pandang) adalah kemampuan untuk mengambil sudut pandang dari orang lain,
melihat situasi sebagaimana seseorang melihatnya, membayangkan bagaimana
seseorang mungkin berpikir, bereaksi, dan merasakan sesuatu. (d) moral reasoning (penalaran moral)
melibatkan pemahaman apa artinya menjadi bermoral dan mengapa harus bermoral.
Mengapa penting untuk menepati janji? Mengapa harus melakukan yang terbaik?
Mengapa harus berbagi ddengan orang lain? (e) decision making (pengambilan keputusan) mampu untuk memikirkan
salah satu jalan melewati maslaha-masalah moral adalah salah satu keterampilan
yang mencerminkan kemampuan pengambilan keputusan. (f) self-knowledge (pengetahuan tentang diri sendiri) mengetahui diri
sendiri adalah jenis pengetahuan moral yang paling sulit untuk di dapatkan,
tapa perlu untuk perkembangan karakter. Menjadi orang yang bermoral memerlukan
kemampuan untuk meninjau kembali perilaku diri sendiri dan mengevaluasinnya
secara kritis.
2. Moral feeling
(perasaan tentang moral)
Terdapat enam hal yang merupakan
aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi
manusia berkarakter, yakni: (a) conscience
(hati nurani) memiliki dua sisi, sisi kognitifnya adalah tahu apa yang benar
dan sisi perasaan emosionalnya adalah berkewajiban untuk melakukan apa yang
benar. Banyak orang yang tahu apa yang benar tapi merasa sedikit kewajiban
untuk bertindak sesuai dengan kebenaran tersebut. (b) self-esteem (harga diri), ketika seseorang memiliki ukuran yang
benar tentang harga diri, maka akan bisa menilai diri sendiri, pikiran atau
mengijinkan orang lain untuk melecehkan diri sendiri. (c) empaty (empati) adalah mengenali dan memahami keadaan orang lain.
Empati memungkinkan seseorang untuk keluar dari diri sendiri dan ke orang lain.
Itulah sisi emosional dari mengambil sudut pandang orang lain (perspective
taking). (d) loving the good
(mencintai kebaikan) bentuk tertinggi sebuah karakter adalah menjadi
benar-benar terkait dengan sesuatu yang baik. (e) self-control (pengendalian diri), emosi dapat terjadi karena
berbagai alasan, itulah salah satu alasan mengapa pengendalian diri merupakan
kebajikan moral yang sangat diperlukan. Pengendalian diri membantu seseorang
menjadi beretika bahkan ketika tidak menginginkannya. (f) huminity (kerendahan hati) adalah kebajikan moral yang sering
diabaikan, padahal merupakan bagian penting dari karakter yang baik. Kerendahan
hati adalah sisi afektif dari
pengetahuan tentang diri sendiri. Kerendahan hati membuat seseorang bisa
terbuka terhadap keterbatasan diri sendiri dan ada kemauan untuk bertindak
mengoreksi kegagalan yang telah dilakukan.
Hati nurani, harga diri, empati,
mencintai yang baik, pengendalian diri, dan kerendahan hati, membentuk sisi
emosional dari moral. Perasaan tentang diri sendiri, orang lain, dan kebaikan
itu sendiri dirangkai dengan moral
knowing (penngetahuan tentang moral), membentuk sumber motivasi moral. Ini
akan membantu dari sekadar mengetahui apa yang benar menjadi melakukan
kebenaran.
3. Moral action
(perbuatan/tindakan moral)
Perbuatan/tindakan moral ini
merupakan hasil (outcome) dari dua
komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam
perbuatan yang baik (act morally),
maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu: (a) competence (kompotensi), kompotensi
moral dapat diartikan memiliki kemampuan untuk mengubah penilaian dan perasaan
moral ke tindakan moral yang efektif. (b) will
(keinginan) menentukan pilihan yang paling tepat dalam situasi moral biasanya
sulit untuk dilakukan. Menjadi baik merupakan tindakan nyata dari sebuah
keinginan, juga sebagai mobilisasi energi
untuk melakukan apa yang harus dilakukan. Keinginan dibutuhkan untuk
menjaga emosi, untuk melihat, dan berpikir melalui dimensi moral, untuk
menempatkan tugas sebelum kesenangan untuk menahan godaan, serta untuk mampu
bertahan dari tekanan dan godaan akan uang. Keinginan merupakan inti dari
keberanian moral. (c) habit
(kebiasaan) dalam berbagai situasi, perilakku bermoral merupakan faedah dari
kebiasaan. Orang-orang yang memiliki karakter baik akan melakukan hal yang
benar dari kebiasaan yang dimiliki. Oleh karena itu, dalam pengembangan
karakter harus diberikan kesempatan yang luas untuk mengembangkan
kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan mempraktikan bagaiamana menjadi orang yang
baik.
Berdasarakan beberapa pendapat
diatas dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan perilaku baik yang telah
menjadi bagian (kepribadian) seseorang sehingga menjadi tanda atau ciri khas
orang yang melakukannya. Karakter ini terdiri dari beberapa komponen
pembentuknya yang intinya terdiri dari pengetahuan moral knowing, moral feeling,
dan moral action. Moral action
merupakan wujud nyata dari moral knowing
dan moral feeling.
III.
Konsep
dan Strategi Pendidikan Karakter
Dasar
pelaksanaan pengembangan karakter berawal dari filosofi yang secara obyektif
menekankan bahwa nilai-nilai etika dasar atau nilai murni terdiri dari
kepedulian/kasih sayang (caring),
kejujurun, keterbukaan, tanggung jawab, dan rasa hormat. Pengembangan karakter
mengarah pada belajar dalam rangka memahami bentuk-bentuk kebaikan, nilai-nilai
kebaikan, dan bertindak atas dasar nilai-nilai kebaikan.
Pengembangan
karakter harus dimulai sejak dini, sejak anak lahir. Pada masa tersebut mulai
diletakkan nilai-nilai moral dasar yang akan mengembangkan karakter anak.
Proses tersebut akan berlangsung hingga berusia lima tahun. Pada masa ini,
hampir seluruh waktu anak dihabiskan di dalam lingkungan keluarga. Untuk itu,
perkembangan moral anak pada usia ini sangat perlu dipethatikan oleh kedua orang
tua.
Sementara
itu banyak orang tua yang terjebak dalam rutinitas yang padat dan mengabaikan
pendidikan karakter bagi anak. Hal tersebut berdampat perilaku dikalangan siswa
yang cenderung mengarah kepada hal-hal yang bersifat pelangggaran terhadap
norma-norma agama dan moral merupakan permasalahan yang harus segera diatasi
dengan tepat karena hal tersebut dapat menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya
karakter dan nilai-nilai luhur bangsa pada generasi yang akan datang.
Merosotnya moral budi pekerti siswa juga dipengaruhi oleh pembinaan yang kurang
efektif dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sementara itu, pendidikan
di Indonesia dinilai terlalu menonjol aspek kognitif tetapi minus emosi dan
moral. Memang benar setiap pendidik sudah mengetahui tiga ranah yaitu kognitif,
afektif dan psikomotor (perilaku). Namun setelah sampai pada tataran praktik,
afektif, dan perilaku tidak memperoleh porsi yang memadai, bahkan kadang-kadang
secara tidak disadari hilang dari kisi-kisi penilaian (Darmiyati Zuhdi, 2009: 51).
Kondisi
di atas tentu sangat memprihatinkan dan patut menjadi perenungan kita semua
untuk menerapkan pendidikan karakter
secara terpadu dan terintegrasi dalam setiap mata pelajaran, sehingga siswa
menjadi cerdas kognitif afektif dan psikomotornya. Ketiga ranah ini adalah
bekal penting dalam mempersiapkan peserta didik menyongsong masa depan, karena
seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi kehidupan, termasuk
tantangan untuk berhasil secara akademis. Karena itu, seyogyanya pendidikan
karakter juga perlu diberikan saat siswa masuk dalam lingkungan sekolah. Disinilah
peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut “digugu dan ditiru” (dipercaya dan
dicontoh) secara tidak langsung juga memberikan contoh langsung kepada peserta
didik (Furqun Hidayatullah 2010: 18). Dengan demikian, guru adalah ujung tombak
di kelas yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Menurut
pendekatan pendidikan karakter, setiap sekolah harus punya aturan moral yang
jelas yang dikomunikasikan dengan jelas kepada murid. Pengarahan tentang konsep
moral berhubungan dengan perilaku tertentu, seperti menipu dapat disajiklan
dalam bentuk contoh dan definisi, diskusi dan role-playing, atau memberi
ganjaran pada murid yang berperilaku tidak benar (Santrock, 2008: 121).
Pengembangan
karakter dapat terjadi melalui berbagai cara. Yang sering dan mudah terjadi
adalah melalui peniruan, yaitu dengan melihat dan mencontoh perilaku orang
disekitarnya. Proses peniruan atau pengimitasian telah dipopulerkan oleh Albert
Bandura dan telah memperkenalkan Bandura’s
social cognitive model, dapat dilihat pada gambar berikut.
Behavior
Personal and cognitive factors Environment
Gambar 2
Bandura’s
social cognitive model
Bandura
melalui Gredler (2001: 333) menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor pada diri
manusia yaitu perilaku atau karakter, kemampuan kognitif, dan lingkungan.
Lingkungan dimana seseorang tinggal akan mempengaruhi perilaku dan karakternya,
serta kemampuan kognitifnya dalam merespon stimulus lingkungan. Hal yang
sebaliknya juga berlaku, prilaku, karakter, dan kemampuan kognitif seseorang
dalam merespon stimulus akan mempengaruhi lingkungan dimana orang tersebut
berada.
IV.
Kesimpulan
Pentingnya pendidikan karakter dalam
upaya membentuk peradaban bangsa yang berkarakter. Pendidikan karakter dapat dilakukan
dengan memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai karakter, perasaan tentang
nilai yang kemudian diaflikasikan melalui prilaku dan tindakan yang
berkarakter. Hal tersebut tentu melibatkan peran guru sebagai pendidik yang
dapat mengarahkan siswanya kepada prilaku yang berkarakter sesuai dengan
falsafah “di gugu dan ditiru”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar