KONTRIBUSI
TEORI HIPOTESIS AFEKTIF FILTER DALAM PEMBELAJARAN MENULIS
(SUMIATINOR)
A.
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang Masalah
Keterampilan berbahasa terdiri dari menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis. Kemampuan menulis menuntut perhatian dan keseriusan yang
lebih banyak karena menulis termasuk ke dalam kemampuan produktif daripada
reseftif. Kemampuan menulis cenderung sukar untuk dikuasai, bahkan oleh penutur
asli bahasa yang bersangkutan (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 422). untuk itu
diperlukan input teoritis dan praktis yang memadai untuk menghasilkan sebuah
tulisan yang baik.
Fenomena di atas tidak terkecuali berlaku juga pada
pembelajaran kemampuan menulis bahasa Indonesia di dalam konteksnya sebagai
bahasa asing (B2). Pengkajian dan penelitian terkait telah banyak dilakukan,
yaitu dengan mengkaji beragam variabel, baik yang berasal dari domain kognitif,
afektif, maupun psikomotor. Namun demikian meskipun telah berkembang pemahaman
bahwa ketiga ranah terkait sangat terkait satu dengan yang lainnya dan bahwa di
dalam pembelajaran kemampuan menulis ketiganya masing-masing memainkan peran
yang signifikan, terdapat kecendrungan dimana ranah afektif jarang mendapat
perhatian.
Berbagai kajian
mengenai bagaimana orang belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya telah
banyak dilakukan dan ditulis. Kawasan yang disebut dengan educational
psychology ini bertujuan utama untuk mengkaji bagaimana caranya
mencapai keberhasilan dalam belajar. Berbagai komponen pembelajaran yang ada
seperti materi, strategi, media, dan guru pada dasarnya dapat diseragamkan.
Namun, yang unik adalah individu yang belajar. Dengan penyeragaman
komponen-komponen di atas, kenyataannya keberhasilan belajar individu selalu
bervariasi.
Kajian-kajian
tentang karakteristik pebelajar menunjukkan pentingnya pemahaman yang mendalam
tentang perbedaan individu (individual differences). Khusus untuk
belajar bahasa asing/bahasa kedua, Gardner (2001) menyebutkan dua faktor utama
individu yang sangat menentukan, yaitu bakat dan motivasi. Bakat dan motivasi
setiap individu berbeda-beda, dan hal inilah yang mempengaruhi keberhasilan
mengakuisisi bahasa target tersebut.
Selanjutnya Gardner mengatakan bahwa faktor yang dapat berubah adalah
motivasi; oleh karena itu motivasi sangat penting diperhatikan.
Motivasi berasal
dari kata motif, yaitu suatu potensi yang ada pada individu yang sifatnya laten
atau potensi yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman; dan motivasi adalah
kondisi yang muncul dalam diri individu yang disebabkan oleh interaksi antara
motif dengan kejadian-kejadian yang diamati oleh individu sehingga mendorong
mengaktifkan perilaku menjadi suatu tindakan nyata (Marhaeni, 2005). Berbagai
pengalaman menimbulkan kesan psikologis atau afektif tertentu yang menentukan
motivasi. Elliot (2000) mengatakan terdapat sejumlah faktor afektif yang dapat
mempengaruhi motivasi, seperti kecemasan, dan rasa percaya diri.
Pada prinsipnya,
setiap proses pembelajaran diharapkan dapat berhasil secara optimal, yaitu
ditandai dengan hasil belajar yang tinggi. Namun, pengamatan terhadap hasil
belajar mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha Singaraja
menunjukkan adanya variasi. Masih banyak mahasiswa yang belum mencapai hasil
belajar yang optimal. Dengan ukuran IPK, banyak yang masih memiliki IPK di
bawah 2,5. Sementara itu banyak pula yang berhasil mencapai IPK lebih dari 3,0.
Dilihat dari kualitas input yang mana telah terseleksi secara ketat, mestinya
hasil belajar mereka tinggi. Faktor latar belakang ekonomi juga relatif bukan
penyebab karena beban finansial kuliah di Undiksha Singaraja relatif kecil
dibandingkan penghasilan rerata orang tua mahasiswa yang pegawai negeri.
Sejauh ini,
kajian-kajian tentang proses belajar B2 menyebutkan bahwa faktor afektif
berperan sangat signifikan; hingga Krashen (1987) menetapkannya sebagai salah
satu hipotesis/prediktor keberhasilan dalam SLA Theory yang diajukannya.
Krashen mengatakan bahwa faktor input kebahasaan merupakan faktor terpenting (input
hypothesis), tetapi faktor-faktor afektif merupakan filter (affective
filter hypothesis) yang memungkinkan input tersebut termanfaatkan atau
tidak dalam proses belajar.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahawa filter afektif berperan dalam menghalangi input
digunakan dalam pemerolehan bahasa. Halangan filter tersebut berupa berbagai
kendala yang terjadi dalam operasional LAD, yaitu alat-alat pemerolehan bahasa.
Seseorang dengan sikap yang optimal (positif) diduga memiliki filter afektif
yang rendah sehingga input dapat digunakan dengan baik untuk meningkatkan
pemerolehan bahasa.
Berdasarkan
berbagai hal tersebut maka dalam makalah ini penulis tertarik membahas lebih
lanjut tentang kontribusi teori afektif filter hypothesis yang dikemukakan oleh
Krashen dalam pengajaran bahasa kedua.
2. Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah dalam makalah ini adalah bagaimana kontribusi
teori hipotesis filter afektif (affective
filter hypothesis) dalam pengajaran B2?
B.
KAJIAN PUSTAKA
1.
Pembelajaran menulis
Keterampilan menulis sangat dibutuhkan dalam
kehidupan sehari-hari untuk menyampaikan ide atau gagasan melalui bahasa tulis.
Keterampilan menulis sebagai salah satu cara dari empat keterampilan berbahasa
mempunyai peranan yang penting di dalam kehidupan manusia. Sebelum membahas tentang pembelajaran
menulis, alangkah baiknya terlebih dahulu menyamakan persepsi tentang definisi
menulis, fungsi menulis, dan tujuan menulis.
Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola
bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan Rusyana (1998:191). Potter & Hernacki (2007: 179)
mengungkapkan bahwa menulis adalah aktivitas seluruh otak yang menggunakan
belahan otak kanan (emosional) dan belahan otak kiri (logika). KBBI (2007:
1219), menulis yaitu (1) membuat huruf (angka dsb) dengan pena (pensil, kapur,
dsb): (2) melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat)
dengan tulisan. Pendapat tersebut diperjelas oleh Henri Guntur Tarigan bahwa
menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang
menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain
dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan
gambaran grafik tersebut beserta simbol-smbol grafisnya (Henri Guntur Tarigan,
2008: 22).
Mengacu kepada ketiga pendapar tersebut dapat
disimpulkan bahwa menulis adalah suatu
keinginan menunangkan pikiran atau perasaan yang dikomunikasikan dalam bentuk
lambang, tanda atau tulisan. Dalam menulis diperlukan adanya suatu bentuk
ekspresi gagasan yang berkesinambungan dan mempunyai urutan logis dengan
menggunakan kosa kata dan tata bahasa tertentu atau kaidah bahasa yang
digunakan sehingga dapat menggambarkan atau dapat menyajikan informasi yang
diekpresikan secara jelas
Melalui aktivitas menulis seseorang dapat
mencurahkan gagasan, pikiran, dan perasaan secara baik, terbuka, dan
sistematis. Aktivitas menulis memudahkan seseorang berpikir kritis dan
mengoptimalkan potensi potensi yang terdapat dalam dirinya. Dalam kegiatan
berbahasa, fungsi utama menulis adalah alat komunikasi tertulis dan tidak
langsung. Hubungannya dengan kemampuan berbahasa, kegiatan menulis mempertajam
kepekaan terhadap kesalahan-kesalahan berbahasa, struktur maupun dengan
pemilihan kosa kata. Hal ini disebabkan karena gagasan perlu dikomunikasikan
dengan jelas, tepat dan teratur sehingga tidak menimbulkan keraguan baik bagi
penulis maupun pembaca.
Henri Guntur Trigan (2008: 22) mengemukakan secara
terperinci fungsi menulis adalah; (1) mempermudah suatu pemahaman suatu ilmu
dan penggalian hikmah pengalaman-pengalaman; (2) dapat mebuktikan sekaligus
menyadari potensi ilmu mpengetahuan, ide, dan pengalaman hidup; (3) dapat
menuyumbangkan pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan serta ide-ide yang
bberguna bagi masyarakat secara lebih luas; (4) untuk meningkatkan potensi
kerja serta memperluas media profesi; dan (5) akan memperlancar mekanisme kerja
masyarakat intelektual, dialog ilmu pengetahuan dan humaniora, serta
pelestarian, pengembangan dan penyempurnaan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai
hayati humaniora tersebut.
Marriam (2005: 25) mengemukakan 12 alasan mengapa
kita harus menulis. Alasan-alasan itu adalah sebagai berikut;
a.
Menulis
membantu menemukan jati diri
b.
Menulis
dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kebanggaan
c.
Saat
menulis; seseorang dapat mendengar keunikan pendapatnya sendiri
d.
Menulis
dapat menunjukkan apa yang diberikan pada dunia
e.
Dengan
menulis, seseorang akan mencari jawaban terhadap pertanyaan dan menemukan
pertanyaan baru untuk ditanyakan
f.
Menulis
meningkatkan kreativitas
g.
Seseorang
dapat berbagi denngan orang lain melalui kegiatan menulis
h.
Menulis
memberi tempat untuk untuk melampiaskan amarah atau ketakutan, kesedihan, dan
perasaan menyakitkan lainnya
i.
Menulis
dapat membantu menyembuhkan diri
j.
Menulis
memberikan kesenangan dan cara mengungkapkannya
k.
Menulis
membuat hidup lebih hidup
l.
Menulis
dapat membuat seseorang menemukan impian
Berdasarkan alasan-alasan diatas ditarik kesimpulan,
bahwa menulis dapat membuat kita menggali dan memunculkan pikiran serta ide
yang diserap dari lingkungan sekitar. Menulis memiliki peran yang penting untuk
mengadakan komunikasi dengan orang lain. Komunikasi tertulis bahkan memberi
kemungkinan untuk mengadakan kontak dengan orang lain di luar negeri dalam
bentuk surat-menyurat, seminar, kursus jarak jauh, dan sebagainya. Hal tersebut
menjelaskan bahwa diperlukan kemampuan menulis yang baik agar komunikasi tulis
berjalan dengan lancar.
Hugo Hartig
dalam tarigan (2008:
24-25) merumuskan tujuan menulis :
a. Tujuan penugasan, sebenarnya
tidak memilki tujuan karena orang yang menulis melakukan nya karena tugas yang
diberikan kepadanya
b. Tujuan
altruistik,penulis bertujuan untuk menyenangkan pembaca,menghindarkan kedudukan
pembaca,ingin menolong pembaca memahami,menghargai perasaan dan penalaranya,ingin
membuat hidup para pembaca lebih mudah dan lebih menyenangkan dengan karyanya
itu
c. Tujuan persuasif
bertujuan meyakinkan para pembaca akan kebenaran gagasan yang diutarakan
d. Tujuan
informasional penulis bertujuan memberi informasi atau keterangan kepada para
pembaca
e. Tujuan
pernyataan diri penulis bertujuan memperkenalkan atau menyatakan dirinya kepada
pembaca
f.
Tujuan
kreatif penulis bertujuan melibatkan dirinya dengan keinginan mencapai norma
artistik,nilai-nilai kesenian
g. Tujuan pemecahan
masalah penulis bertujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi
Pembelajaran
menulis di SMP terbagi menjadi dua aspek, yaitu
aspek menulis dalam kegiatan berbahasa dan aspek menulis dalam kegiatan
bersastra. Apek menulis dalam kegiatan berbahasa meliputi berbagai jenis wacana
seperti catatan harian, surat dinas, petunjuk, paparan, berita, slogan/poster,
iklan baris, resnsi, suntingan, karanngan ilmiah, pidato/ceramah/khotbah, serta
surat pembaca. Wacana tuis yang beragam tersebut di dalam pembelajaran pada
aspek kebahasaan dipadukan dalam bahasa tulis yang baik dan benar, serta
efektif dan santun; bahasa tulis baku dalam surat dinas; bahasa petunjuk
yang efektif; bahasa tulis ilmiah;
bahasa surat pembaca; kalimat langsung dan tidak langsung; pilihan kata serta
variasi kalimat; serta kesatuan dan kepaduan paragraf.
2.
Hipotesis Filter Afektif
Hipetesis ini menekankan akan pentingnya faktor dalam diri
pembelajar bahasa (external factors) dalam mensukseskan pemerolehan
bahasanya. Faktor-faktor tersebut yaitu: motivasi (motivation),
keyakinan diri (self-confidence), dan rasa takut (anxiety). Jika
pembelajar memiliki motivasi dan kepercayaan diri yang tinggi maka ia akan
memiliki peluang lebih besar untuk sukses. Sebliknya jika ia masih memiliki
rasa takut (anxiety) untuk mengungkapkan sesuatu yang diperolehnya atau
melakukan latihan, maka akan terjadi mental block (saluran mental yang
buntu) sehingga akan menghambat proses pemerolehan bahasanya. Mental block
itu akan menghambat comprehensible input ke dalam Language Acquisition Device
.http:/.muhammadtohir.sunanampel.edu/
//PENDIDIKAN_BAHASA_INDONESIA/999856.
Filter afektif
merupakan bagian dari pemroses internal yang secara sadar menyaring masukan
bahasa yang dilandasi oleh faktor afektif: motif, kebutuhan, dan emosi pembelajar.
Filter afektif itu muncul dan merupakan pintu utama yang harus dilalui oleh masukan bahasa sebelum ia masuk dalam
proses selanjutnya. Ia menentukan: model
bahasa sasaran yang dipilih oleh pembelajar, bagian bahasa yang harus dikuasai lebih dahulu, kapan upaya belajar bahasa harus
mengalami masa tenang, dan seberapa
cepat pembelajar dapat memperoleh bahasa.
Pembelajar,
misalnya, akan memilih tipe frase atau butir kosakata tertentu untuk dipelajari
dan digunakan pada waktu berkomunikasi. Anak-anak, misalnya mempelajari frase
dan kalimat yang esensial untuk berperan serta dalam lingkungannya. Beberapa
pembelajar akan dengan secara jelas menghentikan belajar bahasa sasaran pada
suatu titik tertentu sebelum mereka mencapai kemampuan seperti penutur aslinya.
Tetapi, hal itu dilakukan setelah mereka cukup memperoleh bahasa sasaran untuk
berkomunikasi. Perilaku semacam itu dapat disebabkan oleh penyaringan faktor
afektif yang secara signifikan mengurangi data yang terlalu banyak bagi
prosesor yang lain. Lingkungan sosial mempengaruhi penyaringan. Misalnya, ada
tuntutan bahasa asing di sekolah memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar
bahasa yang baru. Karakteristik masyarakat yang menggunakan bahasa tertentu,
sesuai dengan fungsi bahasa itu untuk pembelajar itu sendiri, mempengaruhi
sikap yang dikembangkan pembelajar terhadap bahasa itu.
Bentuk-bentuk
motivasi yang khusus, kebutuhan, dan sikap yang melatarbelakangi pemerolehan
bahasa kedua dipengaruhi oleh masyarakat tempat pembelajar itu bermukim dan
juga dipengaruhi oleh aktivitas sosial di mana pembelajar berperan serta atau
ingin berperan serta.
Aspek yang mempengaruhi terhadap keberhasilan filter
afektif dalam diri seseorang.
a.
Kepercayaan
diri
Kepercayan diri mungkin merupakan
aspek yang paling tampak dalam perilaku manusia. Sering dengan mudah dikatakan
bahwa keberhasilan kognitif atau afektif ditentukan oleh derajat kepercayaan
diri, derajat kesadaran akan kemampuan sendiri, serta derajat akan kepercayaan
diri seseorang. Jika Anda mau melompati sebuah parit yang lebarnya dua meter,
misalnya, Anda dapat tercebur ke parit itu kalau Anda tidak percaya diri saat
melompat. Jika Anda bermain bulu tangkis atau tenis misalnya, pada saat memukul
bola hasilnya sangat ditentukan apakah anda ragu-ragu atau penuh percaya diri.
Jika ragu-ragu, mungkin pukulan anda meleset, keluar lapangan, menyangkut di
jaring, dan sebagainya.
Perkembangan kepribadian secara
universal mencakup pertumbuhan konsep diri seseorang, penerimaan dirinya
sendiri, dan refleksi diri seperti yang tampak dalam interaksi antara diri seseorang dengan orang lain. Manusia
memperoleh rasa percaya diri dari
akumulasi pengalaman dengan dirinya sendiri dan dengan berinteraksi dengan
orang lain, serta dari penilaiannya atas dunia yang ada di sekitarnya. Ada tiga
tataran umum rasa percaya diri dan itu menunjukkan ciri multidimensional rasa
percaya diri itu.
1)
Rasa percaya diri global, rasa percaya
diri dikatakan relatif stabil pada orang dewasa yang benar-benar matang, dan
resisten untuk berubah kecuali dengan terapi yang aktif dan diperluas. Ia
adalah asesmen umum yang dilakukan oleh seseorang dalam berbagai situasi.
Kira-kira dapat dianalogikan pujian dengan rerata di dalam statistik atau
tataran median atas pujian terhadap diri sendiri.
2)
Rasa percaya diri situasional atau
spesifik mengacu pada diri dalam situasi kehidupan yang spesial, seperti
interaksi sosial, kerja, pendidikan, rumah, atau atas bakat-bakat, seperti
inteligensi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan atletik, atau seperti bawaan
kepribadian seperti empati, fleksibilitas. Derajat rasa percaya diri spesifik
yang dimiliki seseorang beragam dan bergantung pada situasi atau bakat.
3)
Rasa percaya diri tugas berkaitan dengan
tugas tertentu di dalam situasi khusus. Misalnya, dalam ranah pendidikan, ia
mengacu pada sebuah kawasan mata pelajaran. Dalam konteks atletik, keterampilan
dalam olahraga—atau bahkan faset olahraga seperti permainan net atau melempar
bola dalam baseball—akan dievaluasi dalam tataran rasa percaya diri tugas. Rasa
percaya diri spesifik, menjelaskan pemerolehan bahasa secara umum, dan ia akan
menjelaskan swaevaluasi seseorang dalam hal aspek tertentu dari sebuah proses:
berbicara, menulis, kelas tertentu dalam bahasa kedua, atau bahkan jenis khusus
pelatihan dalam kelas.
Banyak penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan
yang positif antara rasa percaya diri dengan kemampuan anak belajar bahasa.
Semakin tinggi rasa percaya diri anak, semakin tinggi pula kinerja dalam
belajar bahasa. Hal itu menunjukkan bahwa rasa percaya diri merupakan penting dalam pembelajaran bahasa.
Apa yang tidak
ketahui sampai sekarang adalah jawaban atas pertanyaan dulu mana telur atau
ayam: Apakah rasa percaya diri menyebabkan keberhasilan berbahasa ataukah
sebaliknya keberhasilan berbahasa menyebabkan tumbuhnya rasa percaya diri. Yang
jelas adalah bahwa keduanya itu saling berinteraksi. Oleh sebab itu, perlu
dipikirkan apakah sebaiknya guru mengembangkan rasa percaya diri ataukah rasa
percaya diri akan tumbuh dengan sendirinya jika guru mengembangkan kemampuan
berbahasa siswa.
b.
Hambatan
(Inhibisi)
Semua
manusia dalam upaya memahami dirinya sendiri, mengembangkan seperangkat
pertahanan diri untuk melindungi egonya. Bayi yang baru lahir tidak mempunyai
konsep tentang dirinya sendiri; dan secara perlahan belajar untuk
mengidentifikasikan dirinya yang berbeda dengan yang lain. Dalam masa
kanak-kanak, derajat perkembangan kesadaran diri, tanggapan, dan penilaian
mulai menciptakan sistem afektif digunakan oleh individu untuk
mengideentifikasi dirinya sendiri. Pada saat remaja perubahan fisik, emosi, dan
kognitif praremaja dan remaja akan membawanya ke arah hambatan (inhibisi)
defensif untuk melindungi egonya yang masih rapuh dalam menghadapai tantangan
terhadap berbagai gagasan, pengalaman, dan perasaan yang mengancam upaya
pengorganisasian nilai dan keyakinan untuk membangun rasa percaya diri. Proses
membangun pertahanan itu akan berlanjut sampai pada usia dewasa. Beberapa orang
– yakni yang memiliki rasa percaya diri tinggi dan kekuatan ego yang tinggi
juga – akan lebih dapat mengatasi semua tantangan itu dan pertahanannya menjadi lebih rendah.
Mereka yang memiliki rasa percaya diri yang rendah mempertahankan dinding inhibisi untuk melindungi pribadinya yang
lemah dan egonya yang rapuh, atau kurang rasa percaya diri dalam situasi dan tugas.
Dalam pembelajaran bahasa, Guiora (1927)
memperkenalkan istilah yang disebutnya sebagai ego bahasa, yakni hakikatnya
pembelajaran bahasa itu sangat personal dan egoistis. Pemerolehan bahasa yang
bermakna dalam batas tertentu melibatkan konflik identitas ketika pembelajar
bahasa mencari identitas baru dengan kompetensi yang baru diperolehnya. Sebuah
ego bahasa yang adaptif memungkinkan pembelajar memperendah inhibisi yang dapat
meningkatkan keberhasilan belajar bahasa.
Ada sebuah
penelitian yang menarik dalam rangka membuktikan hubungan antara inhibisi
dengan pembelajaran bahasa. Guiora merancang sebuah penlitian eksperimental dengan menggunakan alkohol
dalam jumlah yang kecil. Kelompok eksperimen oleh peneliti diberi minuman alkohol
dalam kadar rendah sedangkan kelompok kontrrol dibiarkan tanpa minuman alkohol.
Performansi siswa yang minum alkohol dalam hal lafal ternyata lebih baik
daripada kelompok kontrol. Mengapa demikian? Kelompok eksperimen karena
pengaruh alkohol inhibisinya menjadi rendah, sedangkan kelompok kontrol karena
tidak minum alkohol masih tetap mengembangkan inhibisi. Anda tahu, bukan,
alkohol itu dapat menurunkan tingkat kesadaran pikiran dan mengakibatkan orang
menjadi lebih berani dalam berbicara, tidak memiliki rasa malu dan sebagainya.
Lihatlah fenomena orang yang sedang mabuk. Semakin mabuk seseorang semakin
mengoceh dia tanpa ada rasa malu sama sekali. Tampaknya anak-anak yang
mendapatkan alkohol dalam kadar rendah itu juga terpengaruh dan kemudian
inhibisinya menurun. Dampak dari turunnya inhibisi itu performansi mereka dalam
belajar bahasa meningkat. Tentu saja, Anda tidak perlu meniru penelitian
semacam itu. Di samping tidak etis juga tidak bermoral menggunakan anak-anak
untuk eksperimen semacam itu.
Yang dapat di petik dari penelitian itu adalah bahwa di dalam kelas kalau
guru dapat menurunkan inhibisi maka pembelajaran akan berhasil dengan baik.
Lalu banyak guru yang berupaya untuk menurunkan inhibisi itu dengan cara yang
lebih bermoral dan lebih etis menurut tatanan pendidikan. Pembelajaran bahasa dalam beberapa dekade
terakhir ini mencoba mengembangkan pembelajaran di kelas yang menciptakan
suasana yang bebas, tetapi bertanggung jawab. Diciptakanlah konteks
pembelajaran yang menyennagkan yang memberdayakan pembelajar bahasa supaya
mereka tidak merasa terkungkung dan takut berbuat salah dalam berbahasa.
Setiap guru, termasuk Anda pasti tahu bahwa
dalam proses belajar bahasa peserta
didik tidak
akan luput dari berbuat salah. Namun, kesalahan itu bukan untuk dihujat, dicaci
dengan keras, dan sebagainya. Koreksi langsung bahkan akan melemahkan semangat
anak-anak dalam belajar bahasa. Bahkan kita harus yakin bahwa dengan berbuat
kesalahan itulah anak-anak akan berkembang maju. Kesalahan adalah indikator
awal sebuah keberhasilan.
Ciri yang menonjol sebagai pembelajar bahasa
yang baik ialah kemampuan untuk membuat terkaan secara cerdas. Impulsivitas
juga digambarkan sebagai gaya yang mempunyai dampak positif dalam keberhasilan
berbahasa. Anda baru saja juga mempelajari bahwa inhibisi, mengembangkan
pertahanan seputar ego dapat menghambat pembelajaran. Faktor-faktor itu
menyarankan bahwa pengambilan risiko merupakan karakteristik pembelajaran
bahasa yang berhasil. Pembelajar harus dapat berjudi sedikit untuk mau
mencobakan bahasa itu dan mengambil risiko untuk berbuat salah. Di kelas obat
penawar yang mujarab untuk mengatasi ketakutan belajar bahasa adalah
menciptakan kerangka afektif yang layak
sehingga pembelajar itu merasa nyaman ketika mencoba menggunakan atau
belajar bahasa tanpa rasa takut untuk menjadi malu karena dicerca atau
ditertawakan guru atau teman. Oleh sebab itu, kesalahan itu jangan
ditertawakan, jangan dihujat apalagi. Siswa harus dirangsang untuk dapat
percaya diri dan didorong agar berperan serta untuk dapat bereksperimen dan bereksplorasi dan mengambil risiko dalam belajar
bahasa. Diasumsikan bahwa siswa yang
berani mengambil risiko dalam belajar bahasa akan berdampak positif dalam
perolehan pembelajarannya.
c.
Kecemasan
Konsep yang berhubungaan erat dengan inhibisi,
rasa percaya diri, dan pengambilan risiko adalah kecemasan yang memegang
peranan penting dalam pembelajaran bahasa. Kecemasan pada dasarnya adalah
perasaan tidak nyaman, frustrasi, ragu-ragu, khawatir. Pada hakikatnya manusia
menghadapi berbagai kecemasan. Kecemasan sebenarnya bertingkat jenjangnya. Ada
kecemasan yang berada pada tataran paling dalam atau global. Kecemasan semacam
itu lebih bersifat permanen. Sementara itu ada orang-orang yang mengalami
kecemasan momentaris, atau pada tataran situasional. Rasa cemas itu tumbuh
karena pengalamannya yang berhubungan dengan peristiwa atau tindakan tertentu.
Misalnya, ada siswa yang selalu cemas kalau menghadapi ulangan; ada yang cemas
ketika menghadapi guru baru; ada yang cemas kalau pembelajaran dilaksanakan di
luar kelas, dan sebagainya. Oleh sebab sangat penting bagi guru untuk melacak
apakah kecemasan siswa itu berakar pada kecemasan global ataukah berakar pada
kecemasan situasional.
Kecemasan bawaan karena sifatnya global dan
sering ambigu batasannya tidak dapat digunakan untuk meramalkan keberhasilan
belajar bahasa. Tetapi, akhir-akhir ini, penelitian dalam hal kecemasan bahasa,
memumpunkan pada kecemasan situasional. Tiga komponen kecemasan belajar bahasa
kedua telah diidentifikasi, yakni sebagi
berikut.
1)
Komunikasi dan pengertian, yang muncul
dari ketidakmampuan pembelajar untuk mengekspresikan secara layak pemikiran
atau gagasan yang matang.
2)
Takut akan evaluasi sosial yang negatif,
muncul dari kebutuhan untuk membuat kesan sosial yang positif pada yang lain;
dan
3)
tes kecemasan, atau pengertian akan
evaluasi akademik.
Banyak
penelitian menunjukkan bahwa kecemasan belajar bahasa kedua atau bahasa asing
berdampak negatif pada proses belajar bahasa. Kecemasan dapat dipilahkan
menjadi kecemasan debilitatif dan fasilitatif. Dapat juga disebut sebagai
kecemasan yang mengganggu dan membantu. Kita cenderung mengatakan bahwa
kecemasan itu merupakan faktor negatif
dan harus dihilangkan dengan segala macam usaha, daya, tenaga, dan dana.
d.
Motivasi
Motivasi pada hakikatnya adalah insentif,
kebutuhan, atau keinginan yang dirasakan pembelajar bahasa untuk belajar
bahasa. Penelitian dalam dunia pembelajaran bahasa menunjukkan bahwa motivasi
itu mempengaruhi pembelajaran bahasa. Ada tiga jenis motivasi yang mempengaruhi
pembelajaran bahasa, yakni (1) motivasi integratif, (2) motivasi instrumental,
(3) identifikasi kelompok sosial.
1)
Motivasi
Integratif dan Motivasi Instrumental
Gardner dan
Lambert (1959) membedakan antara motivasi integratif dan motivasi instrumental
dalam pembelajaraan bahasa. Motivasi integratif dapat dibatasi sebagai
keinginan atau kehendak untuk mencapai kemmpuan dalam bahasa yang baru agar
dapat berperan serta dalam masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Motivasi
integratif itu mencerminkan kepentingan sebenarnya dan sangat pribadi dalam
masyarakat dan budaya yang ditunjukkan oleh budaya lain. Di sisi lain,motivasi instrumental mungkin
dapat dibatasi sebagai keinginan untuk mencapai kemampuan dalam bahasa baru
dengan alas an kemaslahatannya, seperti memperoleh pekerjaan. Motivasi
instrumental itu mencerminkan nilai dan keuntungan praktis dalam hal belajar
bahasa.
Banyak
penelitian menunjukkan bahwa motivasi integratif dan motivasi instrumental itu
mempunyai sumbangan yang sangat baik terhadap keberhasilan belajar bahasa.
Artinya, semakin baik atau semakin tingi motivasi seorang pembelajar untuk
belajar bahasa, baik motivasi integratif maupun motivasi instrumental semakin
baik pula penguasaan dan keterampilan berbahasa seseorang. Sebaliknya, semakin
rendah dan semakin tidak baik motivasi seseorang, baik motivasi integratif
maupun motivasi instrumental semakin buruk atau semakin lemah penguasaan atau
keterampilan berbahasa seseorang.
.
2)
Identifikasi
Kelompok Sosial
Bahasa atau
variasi bahasa yang digunakan seseorang itu mengindikasikan bahwa seseorang itu
merupakan warga kelompok sosial tertentu. Oleh sebab itu, motif identifikasi
kelompok sosial dapat dibatasi keinginan untuk memperoleh kemampuan dalam
sebuah bahasa atau sebuah variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial
yang oleh pembelajar dijadikan identitasnya. Banyak penelitian menunjukkan
bahwa pembelajar itu menjadikan teman-temannya yang berbahasa tertentu yang
dipelajarinya itu sebagai modelnya. Motif
identifikasi kelompok sosial ini mirip dengan motivasi integratif, tetapi ia
lebih dari sekadar itu. Pembelajar yang memiliki motivasi integratif belajar
bahasa yang lain agar ia dapat berperan serta dalam kehidupan dan budaya bahasa
yang dipelajarinya itu, tetapi ia tetap mempertahankan identitas sebagai orang
yang tetap berada pada budaya bahasanya sendiri.
C.
PEMBAHASAN
Ada tiga faktor
internal yang bekerja ketika Anda belajar bahasa. Dua faktor merupakan prosesor
subsadar yang disebut filter dan organisator. Satu faktor lagi merupakan
prosesor sadar yang disebut monitor.
Pembelajaran
bahasa tidaklah selalu menyerap segala sesuatu yang didengarnya. Motivasi,
kebutuhan, sikap, dan emosinya menyaring segala sesuatu yang didengarnya dan
hal itu mempengaruhi derajat dan kualitas pembelajarannya. Kita menggunakan
istilah filter untuk mengacu pada faktor efektif yang menyaring segala sesuatu
yang merupakan masukan di sekitar pembelajar.
Hipotesis Filter Afektif dalam Pembelajaran Menulis
Ada tiga faktor
internal yang bekerja ketika Anda belajar bahasa. Dua faktor merupakan prosesor
subsadar yang disebut filter dan organisator. Satu faktor lagi merupakan
prosesor sadar yang disebut monitor.
Pembelajaran
bahasa tidaklah selalu menyerap segala sesuatu yang didengarnya. Motivasi,
kebutuhan, sikap, dan emosinya menyaring segala sesuatu yang didengarnya dan
hal itu mempengaruhi derajat dan kualitas pembelajarannya. Kita menggunakan
istilah filter untuk mengacu pada faktor efektif yang menyaring segala sesuatu yang
merupakan masukan di sekitar pembelajar.
Teori
hipotesis filter afektif secara sederhana digambarkan melalui skema di bawah
ini.
Language Acquisition Devise
|
Filter
Input
acquisition competence
Skema di atas menunjukkan bahwa input kebahasaan,
termasuk di dalamnya nilai budaya, akan melewati sebuah filter yang ada di
dalam diri pebelajar. Input yang telah di filter selanjutnya diproses di dalam
piranti pemerolehan bahasa yang dikenal dengan istilah LAD. Hasil dari proses
tersebut menjadi kompetensi kebahasaan pebelajar. Kemampuan menulis sebagai
keterampilan yang bersifat aktif-produktif sangat ditentukan oleh kompetensi
kebahasaan yang dimiliki oleh seorang pebelajar, menulis
mempertajam kepekaan terhadap kesalahan-kesalahan berbahasa, struktur maupun
dengan pemilihan kosa kata. Hal ini disebabkan karena gagasan perlu
dikomunikasikan dengan jelas, tepat dan teratur sehingga tidak menimbulkan
keraguan penulis
Melalui
aktivitas menulis seseorang dapat mencurahkan gagasan, pikiran, dan perasaan
secara baik, terbuka, dan sistematis. Aktivitas menulis memudahkan seseorang
berpikir kritis dan mengoptimalkan potensi potensi yang terdapat dalam dirinya.
Dalam kegiatan berbahasa, fungsi utama menulis adalah alat komunikasi tertulis
dan tidak langsung. berhubungan
dengan kemampuan berbahasa
yang telah diperoleh seseorang yang melalui proses afektif filter dengan sadar menyaring
masukan bahasa yang dilandasi oleh faktor motif, kebutuhan, dan emosi
pembelajar. Filter afektif itu muncul dan merupakan pintu utama yang harus
dilalui oleh masukan bahasa sebelum ia
masuk dalam proses selanjutnya. Ia menentukan: model
bahasa sasaran yang dipilih oleh pembelajar, bagian bahasa yang harus dikuasai lebih
dahulu, kapan
upaya belajar bahasa harus mengalami masa tenang, dan seberapa cepat pembelajar dapat
memperoleh bahasa.
Untuk dapat menghasilkan sebuah tulisan dengan baik
peserta didik perlu rangkaian faktor penentu yang tercakup dalam filter
afektif, seperti rasa percaya diri, inhabit, kecemasan, dan motivasi dari diri
peserta didik.
Percaya diri dari akumulasi pengalaman
dengan dirinya sendiri dan dengan berinteraksi dengan orang lain akan
mempengaruhi seseorang dalam belajar. Maka perlu dipikirkan
apakah sebaiknya guru mengembangkan rasa percaya diri ataukah rasa percaya diri
akan tumbuh dengan sendirinya.
Inhibisi berkaitan dengan rasa percaya diri yang
mempengaruhi peserta didik untuk berkreasi mengungkapkan input yang telah diperoleh
peserta didik di dalam ruang pemerohan yang telah diproses oleh filter afektif.
Peserta didik yang dapat mengatasi hambatan dalam belajar akan lebih berhasil
belajarnya. Sehingga, bagi guru penting untuk menurunkan inhibisi/hambatan itu
dengan cara konteks pembelajaran yang menyenangkan yang memberdayakan pembelajar
bahasa supaya mereka tidak merasa terkungkung dan takut berbuat salah dalam
berbahasa. Dengan demikian
peserta didik merasa nyaman ketika mencoba menggunakan atau
belajar bahasa tanpa rasa takut untuk menjadi malu karena dicerca atau
ditertawakan guru atau teman.
Rasa cemas peserta didik juga
mempengaruhi proses belajar seseorang.
Rasa cemas ini tumbuh karena pengalaman yang berhubungan dengan
peristiwa atau tindakan tertentu. Misalnya, ada peserta didik yang selalu cemas kalau menghadapi ulangan;
ada yang cemas ketika menghadapi guru baru; ada yang cemas kalau pembelajaran
dilaksanakan di luar kelas, dan sebagainya. Oleh sebab, penting bagi guru untuk melacak apakah
kecemasan peserta didik
itu berakar pada kecemasan global ataukah berakar pada kecemasan situasional.
Faktor terakhir yang mempengaruhi seseorang dalam belajar
dalam kaitannya dengan filter afektif adalah motivasi. Motivasi merupakan
insentif, kebutuhan atau keinginan yang dirasakan peserta didik dalam belajar
bahasa. Rendahnya motivasi akan menyulitkan peserta didik untuk menguasai
konsep-konsep dan mengaplikasikan secara nyata.
Dengan demikian
terdapat hubungan dan konstribusi antara hipotesis filter afektif dengan proses
menulis, baik dari segi peserta didik maupun guru sebagai fasilitator yang
menciptakan konteks pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna dengan
mengurangi kecemasan dan hambatan peserta didik dalam menulis, serta
meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri peserta didik untuk menguasai
berbagai konsep keterampilan menulis dapat mengaplikasikan konsep tersebut
dalam dunia nyata.
D. KESIMPULAN
Teori hipotesis filter
afektif memiliki konstribusi dalam pembelajaran Bahasa kedua yang mencakup
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Salah satu keterampilan
berbahasa yang digambarkan dalam makalah ini adalah keterampilan menulis. Dalam
proses menulis peserta didik memerlukan fungsi dari rangkaian faktor filter
afektif agar dapat menguasai dan
mengaplikasi tulisan secara baik.
Filter
afektif menjadi pintu gerbang pertama yang harus dilewati oleh pemrosesan
belajar bahasa di dalam pikiran. Filter afektif itu menyaring semua masukan
bahasa yang bekerja atas dasar faktor afektif, yakni motif pembelajar, sikap
pembelajar, dan keadaan emosi pembelajar. Ada tiga jenis motivasi yang
mempengaruhi proses penyaringan masukan pembelajaran bahasa, yakni motivasi integratif,
motivasi instrumental, dan motif indentifikasi kelompok sosial. Motivasi
integratif adalah keinginan untuk berperan serta di dalam kehidupan masyarakat
yang menggunakan bahasa yang dipelajari pembelajar. Motivasi instrumental
adalah keinginan untuk menggunakan bahasa karena alasan praktis, misalnya,
memperoleh pekerjaan. Motif identifikasi kelompok adalah keinginan untuk
menguasai bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu karena pembelajar
ingin mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian anggota masyarakat itu.
Keadaan emosi pembelajar juga merupakan bagian dari filter afektif. Penelitian
menunjukkan bahwa pembelajar yang tidak cemas, yang lebih santai akan
memperoleh kemajuan yang baik dalam belajar bahasa.
Faktor afektif;
rasa percaya diri, kecemasan, inhibisi, dan motivasi berperan penting dalam
proses menulis peserta didik. Dengan rasa percaya diri dan motivasi yang
tinggi dan meminimakan kecemasan dan
inhibisi/hambatan proses belajar mengajar akan berjalan dengan harapan dan
dapat mencapai tujuan yang direncanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Burhan Nurgiyantoro. (2010). Penilaian Pembelajaran
Bahasa. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
De Potter,
Bobbi & Mike Hernacki. (2007). Quantum learning. Bandung: Kaifa
Krashen, S. D.
1981. Second language acquisition and second language learning. Oxford: Pergamon Press
Muhammad Thohir: http:/.muhammadtohir.sunanampel.edu.co/i//PENDIDIKAN_
BAHASA_INDONESIA/999856 diunduh tanggal 7 Januari 2012
Rusyana, Yus (1988). Bahasa dan sastra dalam Gamitan
Pendidikan, Bandung: Diponegoro.
Tarigan, Henry
Guntur. (2008).
Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.
DAFTAR PUSTAKA
Burns, P.C. Roe, B.D., & Ross, E.P. 1996. Teaching Reading in Todays
Elementary School, Boston: Houghton Mifflin.
Tarigan, Henry Guntur, 1989. Metodologi Pengajaran Bahasa: Suatu Penelitian
Kepustakaan. Jakarta: P2LPTK Depdikbud..
Tompkins, Gaile E. 1994. Teching Writing: Balancing Process and Product. New
York: Macmilan College Publishing Company.
Thohri,Muhamad,dkk. 2008. Bahasa Indonesia 1. Surabaya : LAPIS PGMI
Supriyadi,Drs,dkk. 1994. Pendidikan Bahasa Indonesia 2. Jakarta. Depdikbud.