Minggu, 05 Februari 2012

PENDIDIKAN KARAKTER BAGI SISWA


PENDIDIKAN KARAKTER BAGI SISWA
Oleh: Sumiatinor

I.     Hakikat Pendidikan Karakter

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian (Kamisa, 2005: 281). Lebih rinci Rutland melalui Furqun Hidayatullah (2010: 12) memaparkan tentang karakter  berasal dari akar kata bahasa Latin yang berarti “dipahat”. Sebuah kehidupan, seperti sebuah blok granat yang dengan hati-hati dipahat atau pun dipukul secara sembarangan yang pada akhirnya akan menjadi sebuah mahakarya atau puing-puing yang rusak. Furqun Hidayatullah (2010: 13) karakter adalah kualitas kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang mendorong dan penggerak, serta yang membedakan dengan individu lain. Kata pendidikan  (education) secara etimologis berasal dari bahasa latin yakni educere yang berarti melatih atau menjinakkan, menyuburkan. Jadi pendidikan merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan dan mendewasakan.
Otten, E.H. (2000: 4) menyebutkan bahwa “Character education is an umbrella term used to describe many aspect of teaching and learningfor personal develo pment”. Pendidikan karakter merupakan istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran untuk pengembangan kepribadian. Sedangkan menurut Lickona (Elkind & Sweet, 2004: 6) mendefinisikan karakter sebagai “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon ethical values”. Pendidikan karakter adalah usaha yang dilakukan untuk membantu masyarakat memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika.
Santrock (2008: 105) memberikan definisi tentang pendidikan karakter bahwa
Character education is a direction is a approach to moral education that involves teaching students basic moral literacy to prevent them from engaging in immoral behavior and doing harm to themselves or other.”

Pendidikan karakter adalah pendekatan langsung pada pendidikan moral, yakni mengajari murid dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan tindakan tak bermoral dan membahayakan orang lain dan dirinya sendiri. Karakter kadang terlihat ambigu. Seperti yang dikemukakan oleh Mounier melalui Doni Koesoma (2007: 90) yang melihat karakter sebagai dua hal berbeda. Pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian ini dianggap sebagai sesuatu  yang telah ada sejak  lahir (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui sejauh mana seseorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini disebut sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed). Istilah karakter sesungguhnya menimbulkan ambiguitas. Istilah karakter sesungguhnya menimbulkan ambiguitas. Karakter secara etimologis berasal dari bahasa yunani “karasso”, yang berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, ‘sidik’, seperti dalam sidik jari (Doni Koesomah, 2007: 90).
Awilson melalui Tadkiratun Musfirah (2008: 27) mendefinisikan karakter sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benar salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun secara implisit. Pendidikan karakter merupakan gerakan nasional untuk menciptakan sekolah yang membina generasi muda yang beretika, bertanggung jawab, dan peduli melalui pemodelan dan mengajarkan karakter baik dengan penekanan pada nilai universal yang disepakati bersama. Lickona (1991: 50) menyadur pendapat Aristoteles tentang definisi dari karakter yang baik (good character) sebagai menjalani kehidupan dengan kebenaran. Kenbenaran itu berhubungan dengan orang lain dan juga diri sendiri
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah proses menumbuhkan, mengembangkan dan mendewasakan kepribadian seseorang.

II.  Komponen-komponen pendidikan karakter
Lickona (1991: 53) menyatakan bahwa komponen karakter terdiri dari moral knowing, moral feeling, dan moral action. Lickona (1991: 53-62) menjelaskan komponen dari setiap karakter sebagai berikut.
1.      Moral knowing (pengetahuan tentang moral)
Komponen karakter yang pertama ini terbagi menjadi beberapa unsur yaitu: (a) moral awarness (kesadaran moral, yaitu menggunakan kecerdasan untuk menilai situasi agar sesuai dengan nilai-nilai moral. (b) knowing moral value (mengetahui nilai moral), nilai-nilai moral antara lain: menghormati, tanggung jawab hidup, kejujuran, toleransi, dan kebebasan adalah sekian cara untuk menjadi orang baik. Mengetahui nilai moral dapat pula diartikan memahami bagaiamana menerapkan nilai moral dalam berbagai situasi. (c) perspektive taking (mengambil sudut pandang) adalah kemampuan untuk mengambil sudut pandang dari orang lain, melihat situasi sebagaimana seseorang melihatnya, membayangkan bagaimana seseorang mungkin berpikir, bereaksi, dan merasakan sesuatu. (d) moral reasoning (penalaran moral) melibatkan pemahaman apa artinya menjadi bermoral dan mengapa harus bermoral. Mengapa penting untuk menepati janji? Mengapa harus melakukan yang terbaik? Mengapa harus berbagi ddengan orang lain? (e) decision making (pengambilan keputusan) mampu untuk memikirkan salah satu jalan melewati maslaha-masalah moral adalah salah satu keterampilan yang mencerminkan kemampuan pengambilan keputusan. (f) self-knowledge (pengetahuan tentang diri sendiri) mengetahui diri sendiri adalah jenis pengetahuan moral yang paling sulit untuk di dapatkan, tapa perlu untuk perkembangan karakter. Menjadi orang yang bermoral memerlukan kemampuan untuk meninjau kembali perilaku diri sendiri dan mengevaluasinnya secara kritis.
2.      Moral feeling (perasaan tentang moral)
Terdapat enam hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yakni: (a) conscience (hati nurani) memiliki dua sisi, sisi kognitifnya adalah tahu apa yang benar dan sisi perasaan emosionalnya adalah berkewajiban untuk melakukan apa yang benar. Banyak orang yang tahu apa yang benar tapi merasa sedikit kewajiban untuk bertindak sesuai dengan kebenaran tersebut. (b) self-esteem (harga diri), ketika seseorang memiliki ukuran yang benar tentang harga diri, maka akan bisa menilai diri sendiri, pikiran atau mengijinkan orang lain untuk melecehkan diri sendiri. (c) empaty (empati) adalah mengenali dan memahami keadaan orang lain. Empati memungkinkan seseorang untuk keluar dari diri sendiri dan ke orang lain. Itulah sisi emosional dari mengambil sudut pandang orang lain  (perspective taking). (d) loving the good (mencintai kebaikan) bentuk tertinggi sebuah karakter adalah menjadi benar-benar terkait dengan sesuatu yang baik. (e) self-control (pengendalian diri), emosi dapat terjadi karena berbagai alasan, itulah salah satu alasan mengapa pengendalian diri merupakan kebajikan moral yang sangat diperlukan. Pengendalian diri membantu seseorang menjadi beretika bahkan ketika tidak menginginkannya. (f) huminity (kerendahan hati) adalah kebajikan moral yang sering diabaikan, padahal merupakan bagian penting dari karakter yang baik. Kerendahan hati adalah sisi afektif dari  pengetahuan tentang diri sendiri. Kerendahan hati membuat seseorang bisa terbuka terhadap keterbatasan diri sendiri dan ada kemauan untuk bertindak mengoreksi kegagalan yang telah dilakukan.
Hati nurani, harga diri, empati, mencintai yang baik, pengendalian diri, dan kerendahan hati, membentuk sisi emosional dari moral. Perasaan tentang diri sendiri, orang lain, dan kebaikan itu sendiri dirangkai dengan moral knowing (penngetahuan tentang moral), membentuk sumber motivasi moral. Ini akan membantu dari sekadar mengetahui apa yang benar menjadi melakukan kebenaran.
3.      Moral action (perbuatan/tindakan moral)
Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally), maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu: (a) competence (kompotensi), kompotensi moral dapat diartikan memiliki kemampuan untuk mengubah penilaian dan perasaan moral ke tindakan moral yang efektif. (b) will (keinginan) menentukan pilihan yang paling tepat dalam situasi moral biasanya sulit untuk dilakukan. Menjadi baik merupakan tindakan nyata dari sebuah keinginan, juga sebagai mobilisasi energi  untuk melakukan apa yang harus dilakukan. Keinginan dibutuhkan untuk menjaga emosi, untuk melihat, dan berpikir melalui dimensi moral, untuk menempatkan tugas sebelum kesenangan untuk menahan godaan, serta untuk mampu bertahan dari tekanan dan godaan akan uang. Keinginan merupakan inti dari keberanian moral. (c) habit (kebiasaan) dalam berbagai situasi, perilakku bermoral merupakan faedah dari kebiasaan. Orang-orang yang memiliki karakter baik akan melakukan hal yang benar dari kebiasaan yang dimiliki. Oleh karena itu, dalam pengembangan karakter harus diberikan kesempatan yang luas untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan mempraktikan bagaiamana menjadi orang yang baik.
Berdasarakan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan perilaku baik yang telah menjadi bagian (kepribadian) seseorang sehingga menjadi tanda atau ciri khas orang yang melakukannya. Karakter ini terdiri dari beberapa komponen pembentuknya yang intinya terdiri dari pengetahuan moral knowing, moral feeling, dan moral action. Moral action merupakan wujud nyata dari moral knowing dan moral feeling.

III.   Konsep dan Strategi Pendidikan Karakter
Dasar pelaksanaan pengembangan karakter berawal dari filosofi yang secara obyektif menekankan bahwa nilai-nilai etika dasar atau nilai murni terdiri dari kepedulian/kasih sayang (caring), kejujurun, keterbukaan, tanggung jawab, dan rasa hormat. Pengembangan karakter mengarah pada belajar dalam rangka memahami bentuk-bentuk kebaikan, nilai-nilai kebaikan, dan bertindak atas dasar nilai-nilai kebaikan.
Pengembangan karakter harus dimulai sejak dini, sejak anak lahir. Pada masa tersebut mulai diletakkan nilai-nilai moral dasar yang akan mengembangkan karakter anak. Proses tersebut akan berlangsung hingga berusia lima tahun. Pada masa ini, hampir seluruh waktu anak dihabiskan di dalam lingkungan keluarga. Untuk itu, perkembangan moral anak pada usia ini sangat perlu dipethatikan oleh kedua orang tua.
Sementara itu banyak orang tua yang terjebak dalam rutinitas yang padat dan mengabaikan pendidikan karakter bagi anak. Hal tersebut berdampat perilaku dikalangan siswa yang cenderung mengarah kepada hal-hal yang bersifat pelangggaran terhadap norma-norma agama dan moral merupakan permasalahan yang harus segera diatasi dengan tepat karena hal tersebut dapat menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya karakter dan nilai-nilai luhur bangsa pada generasi yang akan datang. Merosotnya moral budi pekerti siswa juga dipengaruhi oleh pembinaan yang kurang efektif dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sementara itu, pendidikan di Indonesia dinilai terlalu menonjol aspek kognitif tetapi minus emosi dan moral. Memang benar setiap pendidik sudah mengetahui tiga ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotor (perilaku). Namun setelah sampai pada tataran praktik, afektif, dan perilaku tidak memperoleh porsi yang memadai, bahkan kadang-kadang secara tidak disadari hilang dari kisi-kisi penilaian (Darmiyati Zuhdi, 2009: 51).
Kondisi di atas tentu sangat memprihatinkan dan patut menjadi perenungan kita semua untuk menerapkan  pendidikan karakter secara terpadu dan terintegrasi dalam setiap mata pelajaran, sehingga siswa menjadi cerdas kognitif afektif dan psikomotornya. Ketiga ranah ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan peserta didik menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat siswa masuk dalam lingkungan sekolah. Disinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut “digugu dan ditiru” (dipercaya dan dicontoh) secara tidak langsung juga memberikan contoh langsung kepada peserta didik (Furqun Hidayatullah 2010: 18). Dengan demikian, guru adalah ujung tombak di kelas yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Menurut pendekatan pendidikan karakter, setiap sekolah harus punya aturan moral yang jelas yang dikomunikasikan dengan jelas kepada murid. Pengarahan tentang konsep moral berhubungan dengan perilaku tertentu, seperti menipu dapat disajiklan dalam bentuk contoh dan definisi, diskusi dan role-playing, atau memberi ganjaran pada murid yang berperilaku tidak benar (Santrock, 2008: 121).
Pengembangan karakter dapat terjadi melalui berbagai cara. Yang sering dan mudah terjadi adalah melalui peniruan, yaitu dengan melihat dan mencontoh perilaku orang disekitarnya. Proses peniruan atau pengimitasian telah dipopulerkan oleh Albert Bandura dan telah memperkenalkan Bandura’s social cognitive model, dapat dilihat pada gambar berikut.
Behavior






 



     Personal and  cognitive factors                                                         Environment
Gambar 2
                                Bandura’s social cognitive model
        Bandura melalui Gredler (2001: 333) menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor pada diri manusia yaitu perilaku atau karakter, kemampuan kognitif, dan lingkungan. Lingkungan dimana seseorang tinggal akan mempengaruhi perilaku dan karakternya, serta kemampuan kognitifnya dalam merespon stimulus lingkungan. Hal yang sebaliknya juga berlaku, prilaku, karakter, dan kemampuan kognitif seseorang dalam merespon stimulus akan mempengaruhi lingkungan dimana orang tersebut berada.

IV.    Kesimpulan
Pentingnya pendidikan karakter dalam upaya membentuk peradaban bangsa yang berkarakter. Pendidikan karakter dapat dilakukan dengan memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai karakter, perasaan tentang nilai yang kemudian diaflikasikan melalui prilaku dan tindakan yang berkarakter. Hal tersebut tentu melibatkan peran guru sebagai pendidik yang dapat mengarahkan siswanya kepada prilaku yang berkarakter sesuai dengan falsafah “di gugu dan ditiru”

KONTRIBUSI TEORI HIPOTESIS AFEKTIF FILTER DALAM PEMBELAJARAN MENULIS


KONTRIBUSI TEORI HIPOTESIS AFEKTIF FILTER DALAM PEMBELAJARAN MENULIS
(SUMIATINOR)


A.            PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Keterampilan berbahasa terdiri dari menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Kemampuan menulis menuntut perhatian dan keseriusan yang lebih banyak karena menulis termasuk ke dalam kemampuan produktif daripada reseftif. Kemampuan menulis cenderung sukar untuk dikuasai, bahkan oleh penutur asli bahasa yang bersangkutan (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 422). untuk itu diperlukan input teoritis dan praktis yang memadai untuk menghasilkan sebuah tulisan yang baik.
Fenomena di atas tidak terkecuali berlaku juga pada pembelajaran kemampuan menulis bahasa Indonesia di dalam konteksnya sebagai bahasa asing (B2). Pengkajian dan penelitian terkait telah banyak dilakukan, yaitu dengan mengkaji beragam variabel, baik yang berasal dari domain kognitif, afektif, maupun psikomotor. Namun demikian meskipun telah berkembang pemahaman bahwa ketiga ranah terkait sangat terkait satu dengan yang lainnya dan bahwa di dalam pembelajaran kemampuan menulis ketiganya masing-masing memainkan peran yang signifikan, terdapat kecendrungan dimana ranah afektif jarang mendapat perhatian.
Berbagai kajian mengenai bagaimana orang belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya telah banyak dilakukan dan ditulis. Kawasan yang disebut dengan educational psychology ini bertujuan utama untuk mengkaji bagaimana caranya mencapai keberhasilan dalam belajar. Berbagai komponen pembelajaran yang ada seperti materi, strategi, media, dan guru pada dasarnya dapat diseragamkan. Namun, yang unik adalah individu yang belajar. Dengan penyeragaman komponen-komponen di atas, kenyataannya keberhasilan belajar individu selalu bervariasi.
Kajian-kajian tentang karakteristik pebelajar menunjukkan pentingnya pemahaman yang mendalam tentang perbedaan individu (individual differences). Khusus untuk belajar bahasa asing/bahasa kedua, Gardner (2001) menyebutkan dua faktor utama individu yang sangat menentukan, yaitu bakat dan motivasi. Bakat dan motivasi setiap individu berbeda-beda, dan hal inilah yang mempengaruhi keberhasilan mengakuisisi bahasa target tersebut.  Selanjutnya Gardner mengatakan bahwa faktor yang dapat berubah adalah motivasi; oleh karena itu motivasi sangat penting diperhatikan.
Motivasi berasal dari kata motif, yaitu suatu potensi yang ada pada individu yang sifatnya laten atau potensi yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman; dan motivasi adalah kondisi yang muncul dalam diri individu yang disebabkan oleh interaksi antara motif dengan kejadian-kejadian yang diamati oleh individu sehingga mendorong mengaktifkan perilaku menjadi suatu tindakan nyata (Marhaeni, 2005). Berbagai pengalaman menimbulkan kesan psikologis atau afektif tertentu yang menentukan motivasi. Elliot (2000) mengatakan terdapat sejumlah faktor afektif yang dapat mempengaruhi motivasi, seperti kecemasan, dan rasa percaya diri.
Pada prinsipnya, setiap proses pembelajaran diharapkan dapat berhasil secara optimal, yaitu ditandai dengan hasil belajar yang tinggi. Namun, pengamatan terhadap hasil belajar mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha Singaraja menunjukkan adanya variasi. Masih banyak mahasiswa yang belum mencapai hasil belajar yang optimal. Dengan ukuran IPK, banyak yang masih memiliki IPK di bawah 2,5. Sementara itu banyak pula yang berhasil mencapai IPK lebih dari 3,0. Dilihat dari kualitas input yang mana telah terseleksi secara ketat, mestinya hasil belajar mereka tinggi. Faktor latar belakang ekonomi juga relatif bukan penyebab karena beban finansial kuliah di Undiksha Singaraja relatif kecil dibandingkan penghasilan rerata orang tua mahasiswa yang pegawai negeri.
Sejauh ini, kajian-kajian tentang proses belajar B2 menyebutkan bahwa faktor afektif berperan sangat signifikan; hingga Krashen (1987) menetapkannya sebagai salah satu hipotesis/prediktor keberhasilan dalam SLA Theory yang diajukannya. Krashen mengatakan bahwa faktor input kebahasaan merupakan faktor terpenting (input hypothesis), tetapi faktor-faktor afektif merupakan filter (affective filter hypothesis) yang memungkinkan input tersebut termanfaatkan atau tidak dalam proses belajar.
Dengan demikian dapat dikatakan bahawa filter afektif berperan dalam menghalangi input digunakan dalam pemerolehan bahasa. Halangan filter tersebut berupa berbagai kendala yang terjadi dalam operasional LAD, yaitu alat-alat pemerolehan bahasa. Seseorang dengan sikap yang optimal (positif) diduga memiliki filter afektif yang rendah sehingga input dapat digunakan dengan baik untuk meningkatkan pemerolehan bahasa.
Berdasarkan berbagai hal tersebut maka dalam makalah ini penulis tertarik membahas lebih lanjut tentang kontribusi teori afektif filter hypothesis yang dikemukakan oleh Krashen dalam pengajaran bahasa kedua.

2.      Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana kontribusi teori hipotesis filter afektif  (affective filter hypothesis) dalam pengajaran B2?



B.            KAJIAN PUSTAKA
1.        Pembelajaran menulis
Keterampilan menulis sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyampaikan ide atau gagasan melalui bahasa tulis. Keterampilan menulis sebagai salah satu cara dari empat keterampilan berbahasa mempunyai peranan yang penting di dalam kehidupan manusia. Sebelum membahas tentang pembelajaran menulis, alangkah baiknya terlebih dahulu menyamakan persepsi tentang definisi menulis, fungsi menulis, dan tujuan menulis.
Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan Rusyana (1998:191).  Potter & Hernacki (2007: 179) mengungkapkan bahwa menulis adalah aktivitas seluruh otak yang menggunakan belahan otak kanan (emosional) dan belahan otak kiri (logika). KBBI (2007: 1219), menulis yaitu (1) membuat huruf (angka dsb) dengan pena (pensil, kapur, dsb): (2) melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan. Pendapat tersebut diperjelas oleh Henri Guntur Tarigan bahwa menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik tersebut beserta simbol-smbol grafisnya (Henri Guntur Tarigan, 2008: 22).
Mengacu kepada ketiga pendapar tersebut dapat disimpulkan bahwa menulis  adalah suatu keinginan menunangkan pikiran atau perasaan yang dikomunikasikan dalam bentuk lambang, tanda atau tulisan. Dalam menulis diperlukan adanya suatu bentuk ekspresi gagasan yang berkesinambungan dan mempunyai urutan logis dengan menggunakan kosa kata dan tata bahasa tertentu atau kaidah bahasa yang digunakan sehingga dapat menggambarkan atau dapat menyajikan informasi yang diekpresikan secara jelas
Melalui aktivitas menulis seseorang dapat mencurahkan gagasan, pikiran, dan perasaan secara baik, terbuka, dan sistematis. Aktivitas menulis memudahkan seseorang berpikir kritis dan mengoptimalkan potensi potensi yang terdapat dalam dirinya. Dalam kegiatan berbahasa, fungsi utama menulis adalah alat komunikasi tertulis dan tidak langsung. Hubungannya dengan kemampuan berbahasa, kegiatan menulis mempertajam kepekaan terhadap kesalahan-kesalahan berbahasa, struktur maupun dengan pemilihan kosa kata. Hal ini disebabkan karena gagasan perlu dikomunikasikan dengan jelas, tepat dan teratur sehingga tidak menimbulkan keraguan baik bagi penulis maupun pembaca.
Henri Guntur Trigan (2008: 22) mengemukakan secara terperinci fungsi menulis adalah; (1) mempermudah suatu pemahaman suatu ilmu dan penggalian hikmah pengalaman-pengalaman; (2) dapat mebuktikan sekaligus menyadari potensi ilmu mpengetahuan, ide, dan pengalaman hidup; (3) dapat menuyumbangkan pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan serta ide-ide yang bberguna bagi masyarakat secara lebih luas; (4) untuk meningkatkan potensi kerja serta memperluas media profesi; dan (5) akan memperlancar mekanisme kerja masyarakat intelektual, dialog ilmu pengetahuan dan humaniora, serta pelestarian, pengembangan dan penyempurnaan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai hayati humaniora tersebut.
Marriam (2005: 25) mengemukakan 12 alasan mengapa kita harus menulis. Alasan-alasan itu adalah sebagai berikut;
a.         Menulis membantu menemukan jati diri
b.        Menulis dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kebanggaan
c.         Saat menulis; seseorang dapat mendengar keunikan pendapatnya sendiri
d.        Menulis dapat menunjukkan apa yang diberikan pada dunia
e.         Dengan menulis, seseorang akan mencari jawaban terhadap pertanyaan dan menemukan pertanyaan baru untuk ditanyakan
f.          Menulis meningkatkan kreativitas
g.         Seseorang dapat berbagi denngan orang lain melalui kegiatan menulis
h.         Menulis memberi tempat untuk untuk melampiaskan amarah atau ketakutan, kesedihan, dan perasaan menyakitkan lainnya
i.           Menulis dapat membantu menyembuhkan diri
j.          Menulis memberikan kesenangan dan cara mengungkapkannya
k.        Menulis membuat hidup lebih hidup
l.           Menulis dapat membuat seseorang menemukan impian
Berdasarkan alasan-alasan diatas ditarik kesimpulan, bahwa menulis dapat membuat kita menggali dan memunculkan pikiran serta ide yang diserap dari lingkungan sekitar. Menulis memiliki peran yang penting untuk mengadakan komunikasi dengan orang lain. Komunikasi tertulis bahkan memberi kemungkinan untuk mengadakan kontak dengan orang lain di luar negeri dalam bentuk surat-menyurat, seminar, kursus jarak jauh, dan sebagainya. Hal tersebut menjelaskan bahwa diperlukan kemampuan menulis yang baik agar komunikasi tulis berjalan dengan lancar.
Hugo Hartig dalam tarigan (2008: 24-25) merumuskan tujuan menulis :
a.       Tujuan penugasan, sebenarnya tidak memilki tujuan karena orang yang menulis melakukan nya karena tugas yang diberikan kepadanya
b.      Tujuan altruistik,penulis bertujuan untuk menyenangkan pembaca,menghindarkan kedudukan pembaca,ingin menolong pembaca memahami,menghargai perasaan dan penalaranya,ingin membuat hidup para pembaca lebih mudah dan lebih menyenangkan dengan karyanya itu
c.       Tujuan persuasif bertujuan meyakinkan para pembaca akan kebenaran gagasan yang diutarakan
d.      Tujuan informasional penulis bertujuan memberi informasi atau keterangan kepada para pembaca
e.       Tujuan pernyataan diri penulis bertujuan memperkenalkan atau menyatakan dirinya kepada pembaca
f.        Tujuan kreatif penulis bertujuan melibatkan dirinya dengan keinginan mencapai norma artistik,nilai-nilai kesenian
g.       Tujuan pemecahan masalah penulis bertujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi

Pembelajaran menulis di SMP terbagi menjadi dua aspek, yaitu  aspek menulis dalam kegiatan berbahasa dan aspek menulis dalam kegiatan bersastra. Apek menulis dalam kegiatan berbahasa meliputi berbagai jenis wacana seperti catatan harian, surat dinas, petunjuk, paparan, berita, slogan/poster, iklan baris, resnsi, suntingan, karanngan ilmiah, pidato/ceramah/khotbah, serta surat pembaca. Wacana tuis yang beragam tersebut di dalam pembelajaran pada aspek kebahasaan dipadukan dalam bahasa tulis yang baik dan benar, serta efektif dan santun; bahasa tulis baku dalam surat dinas; bahasa petunjuk yang  efektif; bahasa tulis ilmiah; bahasa surat pembaca; kalimat langsung dan tidak langsung; pilihan kata serta variasi kalimat; serta kesatuan dan kepaduan paragraf.

2.        Hipotesis Filter Afektif
Hipetesis ini menekankan akan pentingnya faktor dalam diri pembelajar bahasa (external factors) dalam mensukseskan pemerolehan bahasanya. Faktor-faktor tersebut yaitu: motivasi (motivation), keyakinan diri (self-confidence), dan rasa takut (anxiety). Jika pembelajar memiliki motivasi dan kepercayaan diri yang tinggi maka ia akan memiliki peluang lebih besar untuk sukses. Sebliknya jika ia masih memiliki rasa takut (anxiety) untuk mengungkapkan sesuatu yang diperolehnya atau melakukan latihan, maka akan terjadi mental block (saluran mental yang buntu) sehingga akan menghambat proses pemerolehan bahasanya. Mental block itu akan menghambat comprehensible input ke dalam Language Acquisition  Device    .http:/.muhammadtohir.sunanampel.edu/ //PENDIDIKAN_BAHASA_INDONESIA/999856.
Filter afektif merupakan bagian dari pemroses internal yang secara sadar menyaring masukan bahasa yang dilandasi oleh faktor afektif: motif, kebutuhan, dan emosi pembelajar. Filter afektif itu muncul dan merupakan pintu utama yang harus dilalui  oleh masukan bahasa sebelum ia masuk dalam proses selanjutnya. Ia menentukan: model bahasa sasaran yang dipilih oleh pembelajar, bagian bahasa yang harus dikuasai lebih dahulu, kapan upaya belajar bahasa harus mengalami masa tenang, dan seberapa cepat pembelajar dapat memperoleh bahasa.
Pembelajar, misalnya, akan memilih tipe frase atau butir kosakata tertentu untuk dipelajari dan digunakan pada waktu berkomunikasi. Anak-anak, misalnya mempelajari frase dan kalimat yang esensial untuk berperan serta dalam lingkungannya. Beberapa pembelajar akan dengan secara jelas menghentikan belajar bahasa sasaran pada suatu titik tertentu sebelum mereka mencapai kemampuan seperti penutur aslinya. Tetapi, hal itu dilakukan setelah mereka cukup memperoleh bahasa sasaran untuk berkomunikasi. Perilaku semacam itu dapat disebabkan oleh penyaringan faktor afektif yang secara signifikan mengurangi data yang terlalu banyak bagi prosesor yang lain. Lingkungan sosial mempengaruhi penyaringan. Misalnya, ada tuntutan bahasa asing di sekolah memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar bahasa yang baru. Karakteristik masyarakat yang menggunakan bahasa tertentu, sesuai dengan fungsi bahasa itu untuk pembelajar itu sendiri, mempengaruhi sikap yang dikembangkan pembelajar terhadap bahasa itu.
Bentuk-bentuk motivasi yang khusus, kebutuhan, dan sikap yang melatarbelakangi pemerolehan bahasa kedua dipengaruhi oleh masyarakat tempat pembelajar itu bermukim dan juga dipengaruhi oleh aktivitas sosial di mana pembelajar berperan serta atau ingin berperan serta.
Aspek yang mempengaruhi terhadap keberhasilan filter afektif dalam diri seseorang.
a.         Kepercayaan diri
Kepercayan diri mungkin merupakan aspek yang paling tampak dalam perilaku manusia. Sering dengan mudah dikatakan bahwa keberhasilan kognitif atau afektif ditentukan oleh derajat kepercayaan diri, derajat kesadaran akan kemampuan sendiri, serta derajat akan kepercayaan diri seseorang. Jika Anda mau melompati sebuah parit yang lebarnya dua meter, misalnya, Anda dapat tercebur ke parit itu kalau Anda tidak percaya diri saat melompat. Jika Anda bermain bulu tangkis atau tenis misalnya, pada saat memukul bola hasilnya sangat ditentukan apakah anda ragu-ragu atau penuh percaya diri. Jika ragu-ragu, mungkin pukulan anda meleset, keluar lapangan, menyangkut di jaring, dan sebagainya.
Perkembangan kepribadian secara universal mencakup pertumbuhan konsep diri seseorang, penerimaan dirinya sendiri, dan refleksi diri seperti yang tampak dalam interaksi antara diri seseorang dengan orang lain. Manusia memperoleh  rasa percaya diri dari akumulasi pengalaman dengan dirinya sendiri dan dengan berinteraksi dengan orang lain, serta dari penilaiannya atas dunia yang ada di sekitarnya. Ada tiga tataran umum rasa percaya diri dan itu menunjukkan ciri multidimensional rasa percaya diri itu.
1)        Rasa percaya diri global, rasa percaya diri dikatakan relatif stabil pada orang dewasa yang benar-benar matang, dan resisten untuk berubah kecuali dengan terapi yang aktif dan diperluas. Ia adalah asesmen umum yang dilakukan oleh seseorang dalam berbagai situasi. Kira-kira dapat dianalogikan pujian dengan rerata di dalam statistik atau tataran median atas pujian terhadap diri sendiri.
2)        Rasa percaya diri situasional atau spesifik mengacu pada diri dalam situasi kehidupan yang spesial, seperti interaksi sosial, kerja, pendidikan, rumah, atau atas bakat-bakat, seperti inteligensi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan atletik, atau seperti bawaan kepribadian seperti empati, fleksibilitas. Derajat rasa percaya diri spesifik yang dimiliki seseorang beragam dan bergantung pada situasi atau bakat.
3)        Rasa percaya diri tugas berkaitan dengan tugas tertentu di dalam situasi khusus. Misalnya, dalam ranah pendidikan, ia mengacu pada sebuah kawasan mata pelajaran. Dalam konteks atletik, keterampilan dalam olahraga—atau bahkan faset olahraga seperti permainan net atau melempar bola dalam baseball—akan dievaluasi dalam tataran rasa percaya diri tugas. Rasa percaya diri spesifik, menjelaskan pemerolehan bahasa secara umum, dan ia akan menjelaskan swaevaluasi seseorang dalam hal aspek tertentu dari sebuah proses: berbicara, menulis, kelas tertentu dalam bahasa kedua, atau bahkan jenis khusus pelatihan dalam kelas.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara rasa percaya diri dengan kemampuan anak belajar bahasa. Semakin tinggi rasa percaya diri anak, semakin tinggi pula kinerja dalam belajar bahasa. Hal itu menunjukkan bahwa rasa percaya diri merupakan  penting dalam pembelajaran bahasa.
Apa yang tidak ketahui sampai sekarang adalah jawaban atas pertanyaan dulu mana telur atau ayam: Apakah rasa percaya diri menyebabkan keberhasilan berbahasa ataukah sebaliknya keberhasilan berbahasa menyebabkan tumbuhnya rasa percaya diri. Yang jelas adalah bahwa keduanya itu saling berinteraksi. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan apakah sebaiknya guru mengembangkan rasa percaya diri ataukah rasa percaya diri akan tumbuh dengan sendirinya jika guru mengembangkan kemampuan berbahasa siswa.

b.         Hambatan (Inhibisi)
Semua manusia dalam upaya memahami dirinya sendiri, mengembangkan seperangkat pertahanan diri untuk melindungi egonya. Bayi yang baru lahir tidak mempunyai konsep tentang dirinya sendiri; dan secara perlahan belajar untuk mengidentifikasikan dirinya yang berbeda dengan yang lain. Dalam masa kanak-kanak, derajat perkembangan kesadaran diri, tanggapan, dan penilaian mulai menciptakan sistem afektif digunakan oleh individu untuk mengideentifikasi dirinya sendiri. Pada saat remaja perubahan fisik, emosi, dan kognitif praremaja dan remaja akan membawanya ke arah hambatan (inhibisi) defensif untuk melindungi egonya yang masih rapuh dalam menghadapai tantangan terhadap berbagai gagasan, pengalaman, dan perasaan yang mengancam upaya pengorganisasian nilai dan keyakinan untuk membangun rasa percaya diri. Proses membangun pertahanan itu akan berlanjut sampai pada usia dewasa. Beberapa orang – yakni yang memiliki rasa percaya diri tinggi dan kekuatan ego yang tinggi juga – akan lebih dapat mengatasi semua tantangan itu  dan pertahanannya menjadi lebih rendah. Mereka yang memiliki rasa percaya diri yang rendah mempertahankan dinding  inhibisi untuk melindungi pribadinya yang lemah dan egonya yang rapuh, atau kurang rasa percaya diri  dalam situasi dan tugas.
Dalam pembelajaran bahasa, Guiora (1927) memperkenalkan istilah yang disebutnya sebagai ego bahasa, yakni hakikatnya pembelajaran bahasa itu sangat personal dan egoistis. Pemerolehan bahasa yang bermakna dalam batas tertentu melibatkan konflik identitas ketika pembelajar bahasa mencari identitas baru dengan kompetensi yang baru diperolehnya. Sebuah ego bahasa yang adaptif memungkinkan pembelajar memperendah inhibisi yang dapat meningkatkan keberhasilan belajar bahasa.
Ada sebuah penelitian yang menarik dalam rangka membuktikan hubungan antara inhibisi dengan pembelajaran bahasa. Guiora merancang sebuah penlitian  eksperimental dengan menggunakan alkohol dalam jumlah yang kecil. Kelompok eksperimen oleh peneliti diberi minuman alkohol dalam kadar rendah sedangkan kelompok kontrrol dibiarkan tanpa minuman alkohol. Performansi siswa yang minum alkohol dalam hal lafal ternyata lebih baik daripada kelompok kontrol. Mengapa demikian? Kelompok eksperimen karena pengaruh alkohol inhibisinya menjadi rendah, sedangkan kelompok kontrol karena tidak minum alkohol masih tetap mengembangkan inhibisi. Anda tahu, bukan, alkohol itu dapat menurunkan tingkat kesadaran pikiran dan mengakibatkan orang menjadi lebih berani dalam berbicara, tidak memiliki rasa malu dan sebagainya. Lihatlah fenomena orang yang sedang mabuk. Semakin mabuk seseorang semakin mengoceh dia tanpa ada rasa malu sama sekali. Tampaknya anak-anak yang mendapatkan alkohol dalam kadar rendah itu juga terpengaruh dan kemudian inhibisinya menurun. Dampak dari turunnya inhibisi itu performansi mereka dalam belajar bahasa meningkat. Tentu saja, Anda tidak perlu meniru penelitian semacam itu. Di samping tidak etis juga tidak bermoral menggunakan anak-anak untuk eksperimen semacam itu.
Yang dapat di petik dari penelitian itu adalah bahwa di dalam kelas kalau guru dapat menurunkan inhibisi maka pembelajaran akan berhasil dengan baik. Lalu banyak guru yang berupaya untuk menurunkan inhibisi itu dengan cara yang lebih bermoral dan lebih etis menurut tatanan pendidikan.  Pembelajaran bahasa dalam beberapa dekade terakhir ini mencoba mengembangkan pembelajaran di kelas yang menciptakan suasana yang bebas, tetapi bertanggung jawab. Diciptakanlah konteks pembelajaran yang menyennagkan yang memberdayakan pembelajar bahasa supaya mereka tidak merasa terkungkung dan takut berbuat salah dalam berbahasa.
Setiap guru, termasuk Anda pasti tahu bahwa dalam proses belajar bahasa peserta didik tidak akan luput dari berbuat salah. Namun, kesalahan itu bukan untuk dihujat, dicaci dengan keras, dan sebagainya. Koreksi langsung bahkan akan melemahkan semangat anak-anak dalam belajar bahasa. Bahkan kita harus yakin bahwa dengan berbuat kesalahan itulah anak-anak akan berkembang maju. Kesalahan adalah indikator awal sebuah keberhasilan.
Ciri yang menonjol sebagai pembelajar bahasa yang baik ialah kemampuan untuk membuat terkaan secara cerdas. Impulsivitas juga digambarkan sebagai gaya yang mempunyai dampak positif dalam keberhasilan berbahasa. Anda baru saja juga mempelajari bahwa inhibisi, mengembangkan pertahanan seputar ego dapat menghambat pembelajaran. Faktor-faktor itu menyarankan bahwa pengambilan risiko merupakan karakteristik pembelajaran bahasa yang berhasil. Pembelajar harus dapat berjudi sedikit untuk mau mencobakan bahasa itu dan mengambil risiko untuk berbuat salah. Di kelas obat penawar yang mujarab untuk mengatasi ketakutan belajar bahasa adalah menciptakan kerangka afektif yang layak  sehingga pembelajar itu merasa nyaman ketika mencoba menggunakan atau belajar bahasa tanpa rasa takut untuk menjadi malu karena dicerca atau ditertawakan guru atau teman. Oleh sebab itu, kesalahan itu jangan ditertawakan, jangan dihujat apalagi. Siswa harus dirangsang untuk dapat percaya diri dan didorong agar berperan serta untuk dapat bereksperimen dan bereksplorasi  dan mengambil risiko dalam belajar bahasa.  Diasumsikan bahwa siswa yang berani mengambil risiko dalam belajar bahasa akan berdampak positif dalam perolehan pembelajarannya.

c.       Kecemasan
Konsep yang berhubungaan erat dengan inhibisi, rasa percaya diri, dan pengambilan risiko adalah kecemasan yang memegang peranan penting dalam pembelajaran bahasa. Kecemasan pada dasarnya adalah perasaan tidak nyaman, frustrasi, ragu-ragu, khawatir. Pada hakikatnya manusia menghadapi berbagai kecemasan. Kecemasan sebenarnya bertingkat jenjangnya. Ada kecemasan yang berada pada tataran paling dalam atau global. Kecemasan semacam itu lebih bersifat permanen. Sementara itu ada orang-orang yang mengalami kecemasan momentaris, atau pada tataran situasional. Rasa cemas itu tumbuh karena pengalamannya yang berhubungan dengan peristiwa atau tindakan tertentu. Misalnya, ada siswa yang selalu cemas kalau menghadapi ulangan; ada yang cemas ketika menghadapi guru baru; ada yang cemas kalau pembelajaran dilaksanakan di luar kelas, dan sebagainya. Oleh sebab sangat penting bagi guru untuk melacak apakah kecemasan siswa itu berakar pada kecemasan global ataukah berakar pada kecemasan situasional.
Kecemasan bawaan karena sifatnya global dan sering ambigu batasannya tidak dapat digunakan untuk meramalkan keberhasilan belajar bahasa. Tetapi, akhir-akhir ini, penelitian dalam hal kecemasan bahasa, memumpunkan pada kecemasan situasional. Tiga komponen kecemasan belajar bahasa kedua  telah diidentifikasi, yakni sebagi berikut.
1)        Komunikasi dan pengertian, yang muncul dari ketidakmampuan pembelajar untuk mengekspresikan secara layak pemikiran atau gagasan yang matang.
2)        Takut akan evaluasi sosial yang negatif, muncul dari kebutuhan untuk membuat kesan sosial yang positif pada yang lain; dan
3)        tes kecemasan, atau pengertian akan evaluasi akademik.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kecemasan belajar bahasa kedua atau bahasa asing berdampak negatif pada proses belajar bahasa. Kecemasan dapat dipilahkan menjadi kecemasan debilitatif dan fasilitatif. Dapat juga disebut sebagai kecemasan yang mengganggu dan membantu. Kita cenderung mengatakan bahwa kecemasan itu merupakan faktor negatif  dan harus dihilangkan dengan segala macam usaha, daya, tenaga, dan dana.
d.          Motivasi
Motivasi pada hakikatnya adalah insentif, kebutuhan, atau keinginan yang dirasakan pembelajar bahasa untuk belajar bahasa. Penelitian dalam dunia pembelajaran bahasa menunjukkan bahwa motivasi itu mempengaruhi pembelajaran bahasa. Ada tiga jenis motivasi yang mempengaruhi pembelajaran bahasa, yakni (1) motivasi integratif, (2) motivasi instrumental, (3) identifikasi kelompok sosial.
1)        Motivasi Integratif dan Motivasi Instrumental
Gardner dan Lambert (1959) membedakan antara motivasi integratif dan motivasi instrumental dalam pembelajaraan bahasa. Motivasi integratif dapat dibatasi sebagai keinginan atau kehendak untuk mencapai kemmpuan dalam bahasa yang baru agar dapat berperan serta dalam masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Motivasi integratif itu mencerminkan kepentingan sebenarnya dan sangat pribadi dalam masyarakat dan budaya yang ditunjukkan oleh budaya lain.  Di sisi lain,motivasi instrumental mungkin dapat dibatasi sebagai keinginan untuk mencapai kemampuan dalam bahasa baru dengan alas an kemaslahatannya, seperti memperoleh pekerjaan. Motivasi instrumental itu mencerminkan nilai dan keuntungan praktis dalam hal belajar bahasa. 
Banyak penelitian menunjukkan bahwa motivasi integratif dan motivasi instrumental itu mempunyai sumbangan yang sangat baik terhadap keberhasilan belajar bahasa. Artinya, semakin baik atau semakin tingi motivasi seorang pembelajar untuk belajar bahasa, baik motivasi integratif maupun motivasi instrumental semakin baik pula penguasaan dan keterampilan berbahasa seseorang. Sebaliknya, semakin rendah dan semakin tidak baik motivasi seseorang, baik motivasi integratif maupun motivasi instrumental semakin buruk atau semakin lemah penguasaan atau keterampilan berbahasa seseorang.
.
2)      Identifikasi Kelompok Sosial
Bahasa atau variasi bahasa yang digunakan seseorang itu mengindikasikan bahwa seseorang itu merupakan warga kelompok sosial tertentu. Oleh sebab itu, motif identifikasi kelompok sosial dapat dibatasi keinginan untuk memperoleh kemampuan dalam sebuah bahasa atau sebuah variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial yang oleh pembelajar dijadikan identitasnya. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pembelajar itu menjadikan teman-temannya yang berbahasa tertentu yang dipelajarinya itu sebagai modelnya.  Motif identifikasi kelompok sosial ini mirip dengan motivasi integratif, tetapi ia lebih dari sekadar itu. Pembelajar yang memiliki motivasi integratif belajar bahasa yang lain agar ia dapat berperan serta dalam kehidupan dan budaya bahasa yang dipelajarinya itu, tetapi ia tetap mempertahankan identitas sebagai orang yang tetap berada pada budaya bahasanya sendiri.

C.          PEMBAHASAN
Ada tiga faktor internal yang bekerja ketika Anda belajar bahasa. Dua faktor merupakan prosesor subsadar yang disebut filter dan organisator. Satu faktor lagi merupakan prosesor sadar yang disebut monitor.
Pembelajaran bahasa tidaklah selalu menyerap segala sesuatu yang didengarnya. Motivasi, kebutuhan, sikap, dan emosinya menyaring segala sesuatu yang didengarnya dan hal itu mempengaruhi derajat dan kualitas pembelajarannya. Kita menggunakan istilah filter untuk mengacu pada faktor efektif yang menyaring segala sesuatu yang merupakan masukan di sekitar pembelajar.

Hipotesis Filter Afektif dalam Pembelajaran Menulis
Ada tiga faktor internal yang bekerja ketika Anda belajar bahasa. Dua faktor merupakan prosesor subsadar yang disebut filter dan organisator. Satu faktor lagi merupakan prosesor sadar yang disebut monitor.
Pembelajaran bahasa tidaklah selalu menyerap segala sesuatu yang didengarnya. Motivasi, kebutuhan, sikap, dan emosinya menyaring segala sesuatu yang didengarnya dan hal itu mempengaruhi derajat dan kualitas pembelajarannya. Kita menggunakan istilah filter untuk mengacu pada faktor efektif yang menyaring segala sesuatu yang merupakan masukan di sekitar pembelajar.
Teori hipotesis filter afektif secara sederhana digambarkan melalui skema di bawah ini.



Language Acquisition Devise
      Filter
Input                                                                           acquisition competence




Skema di atas menunjukkan bahwa input kebahasaan, termasuk di dalamnya nilai budaya, akan melewati sebuah filter yang ada di dalam diri pebelajar. Input yang telah di filter selanjutnya diproses di dalam piranti pemerolehan bahasa yang dikenal dengan istilah LAD. Hasil dari proses tersebut menjadi kompetensi kebahasaan pebelajar. Kemampuan menulis sebagai keterampilan yang bersifat aktif-produktif sangat ditentukan oleh kompetensi kebahasaan yang dimiliki oleh seorang pebelajar, menulis mempertajam kepekaan terhadap kesalahan-kesalahan berbahasa, struktur maupun dengan pemilihan kosa kata. Hal ini disebabkan karena gagasan perlu dikomunikasikan dengan jelas, tepat dan teratur sehingga tidak menimbulkan keraguan  penulis
Melalui aktivitas menulis seseorang dapat mencurahkan gagasan, pikiran, dan perasaan secara baik, terbuka, dan sistematis. Aktivitas menulis memudahkan seseorang berpikir kritis dan mengoptimalkan potensi potensi yang terdapat dalam dirinya. Dalam kegiatan berbahasa, fungsi utama menulis adalah alat komunikasi tertulis dan tidak langsung. berhubungan dengan kemampuan berbahasa yang telah diperoleh seseorang yang melalui proses afektif filter dengan sadar menyaring masukan bahasa yang dilandasi oleh faktor motif, kebutuhan, dan emosi pembelajar. Filter afektif itu muncul dan merupakan pintu utama yang harus dilalui  oleh masukan bahasa sebelum ia masuk dalam proses selanjutnya. Ia menentukan: model bahasa sasaran yang dipilih oleh pembelajar, bagian bahasa yang harus dikuasai lebih dahulu, kapan upaya belajar bahasa harus mengalami masa tenang, dan seberapa cepat pembelajar dapat memperoleh bahasa.
Untuk dapat menghasilkan sebuah tulisan dengan baik peserta didik perlu rangkaian faktor penentu yang tercakup dalam filter afektif, seperti rasa percaya diri, inhabit, kecemasan, dan motivasi dari diri peserta didik.
Percaya diri dari akumulasi pengalaman dengan dirinya sendiri dan dengan berinteraksi dengan orang lain akan mempengaruhi seseorang dalam belajar. Maka perlu dipikirkan apakah sebaiknya guru mengembangkan rasa percaya diri ataukah rasa percaya diri akan tumbuh dengan sendirinya.  
Inhibisi berkaitan dengan rasa percaya diri yang mempengaruhi peserta didik untuk berkreasi mengungkapkan input yang telah diperoleh peserta didik di dalam ruang pemerohan yang telah diproses oleh filter afektif. Peserta didik yang dapat mengatasi hambatan dalam belajar akan lebih berhasil belajarnya. Sehingga, bagi guru penting untuk menurunkan inhibisi/hambatan itu dengan cara konteks pembelajaran yang menyenangkan yang memberdayakan pembelajar bahasa supaya mereka tidak merasa terkungkung dan takut berbuat salah dalam berbahasa. Dengan demikian peserta didik merasa nyaman ketika mencoba menggunakan atau belajar bahasa tanpa rasa takut untuk menjadi malu karena dicerca atau ditertawakan guru atau teman.
Rasa cemas  peserta didik juga mempengaruhi  proses belajar seseorang. Rasa cemas ini tumbuh karena pengalaman yang berhubungan dengan peristiwa atau tindakan tertentu. Misalnya, ada peserta didik  yang selalu cemas kalau menghadapi ulangan; ada yang cemas ketika menghadapi guru baru; ada yang cemas kalau pembelajaran dilaksanakan di luar kelas, dan sebagainya. Oleh sebab,  penting bagi guru untuk melacak apakah kecemasan peserta didik itu berakar pada kecemasan global ataukah berakar pada kecemasan situasional.
Faktor terakhir yang mempengaruhi seseorang dalam belajar dalam kaitannya dengan filter afektif adalah motivasi. Motivasi merupakan insentif, kebutuhan atau keinginan yang dirasakan peserta didik dalam belajar bahasa. Rendahnya motivasi akan menyulitkan peserta didik untuk menguasai konsep-konsep dan mengaplikasikan secara nyata.
Dengan demikian terdapat hubungan dan konstribusi antara hipotesis filter afektif dengan proses menulis, baik dari segi peserta didik maupun guru sebagai fasilitator yang menciptakan konteks pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna dengan mengurangi kecemasan dan hambatan peserta didik dalam menulis, serta meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri peserta didik untuk menguasai berbagai konsep keterampilan menulis dapat mengaplikasikan konsep tersebut dalam dunia nyata.




D.      KESIMPULAN
Teori hipotesis filter afektif memiliki konstribusi dalam pembelajaran Bahasa kedua yang mencakup keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Salah satu keterampilan berbahasa yang digambarkan dalam makalah ini adalah keterampilan menulis. Dalam proses menulis peserta didik memerlukan fungsi dari rangkaian faktor filter afektif  agar dapat menguasai dan mengaplikasi tulisan secara baik.
Filter afektif menjadi pintu gerbang pertama yang harus dilewati oleh pemrosesan belajar bahasa di dalam pikiran. Filter afektif itu menyaring semua masukan bahasa yang bekerja atas dasar faktor afektif, yakni motif pembelajar, sikap pembelajar, dan keadaan emosi pembelajar. Ada tiga jenis motivasi yang mempengaruhi proses penyaringan masukan pembelajaran bahasa, yakni motivasi integratif, motivasi instrumental, dan motif indentifikasi kelompok sosial. Motivasi integratif adalah keinginan untuk berperan serta di dalam kehidupan masyarakat yang menggunakan bahasa yang dipelajari pembelajar. Motivasi instrumental adalah keinginan untuk menggunakan bahasa karena alasan praktis, misalnya, memperoleh pekerjaan. Motif identifikasi kelompok adalah keinginan untuk menguasai bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu karena pembelajar ingin mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian anggota masyarakat itu. Keadaan emosi pembelajar juga merupakan bagian dari filter afektif. Penelitian menunjukkan bahwa pembelajar yang tidak cemas, yang lebih santai akan memperoleh kemajuan yang baik dalam belajar bahasa.
Faktor afektif; rasa percaya diri, kecemasan, inhibisi, dan motivasi berperan penting dalam proses menulis peserta didik. Dengan rasa percaya diri dan motivasi yang tinggi  dan meminimakan kecemasan dan inhibisi/hambatan proses belajar mengajar akan berjalan dengan harapan dan dapat mencapai tujuan yang direncanakan.
DAFTAR PUSTAKA

Burhan Nurgiyantoro. (2010). Penilaian Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
De Potter, Bobbi  & Mike Hernacki. (2007). Quantum learning. Bandung: Kaifa
Krashen, S. D. 1981. Second language acquisition and second language learning. Oxford: Pergamon Press
Muhammad Thohir:  http:/.muhammadtohir.sunanampel.edu.co/i//PENDIDIKAN_
BAHASA_INDONESIA/999856 diunduh tanggal 7 Januari 2012
Rusyana, Yus (1988). Bahasa dan sastra dalam Gamitan Pendidikan, Bandung: Diponegoro.
Tarigan, Henry Guntur. (2008). Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.




















DAFTAR PUSTAKA
Burns, P.C. Roe, B.D., & Ross, E.P. 1996. Teaching Reading in Todays Elementary School, Boston: Houghton Mifflin.

Tarigan, Henry Guntur, 1989. Metodologi Pengajaran Bahasa: Suatu Penelitian Kepustakaan. Jakarta: P2LPTK Depdikbud..
Tompkins, Gaile E. 1994. Teching Writing: Balancing Process and Product. New York: Macmilan College Publishing Company.
Thohri,Muhamad,dkk. 2008. Bahasa Indonesia 1. Surabaya : LAPIS PGMI
Supriyadi,Drs,dkk. 1994. Pendidikan Bahasa Indonesia 2. Jakarta. Depdikbud.